TASIKMALAYA, (KAPOL).-
Berbeda dari penetrasi perbankan syariah yang semakin hari kian kencang, justru lini asuransi syariah hingga saat ini terbilang jalan di tempat dan masih belum menampakkan geliat yang positif. Bahkan, tidak sedikit dijumpai beberapa pelaku pasar yang bergerak di asuransi syariah ini kembali balik kanan ke bisnis asuransi konvensional.
Hal ini dibenarkan pengamat industri syariah dari Universitas Siliwangi Irman Firmansyah M.Si, menurut dia, sulitnya asuransi syariah bertahan selain karena belum teredukasinya masyarakat. Pun juga, lantaran industri satu ini kurang efisien dalam pengelolaan dana.
“Secara nasional, kami teliti hanya ada satu perusahaan saja yang efisien dan terbukti karena itu mereka satu-satunya yang tetap eksis. Padahal kalau dilihat secara keseluruhan, jumlahnya asuransi syariah ini ada puluhan,” kata dia dijumpai di kampus, baru-baru ini. Per tahun 2014 saja, setidaknya tercatat 51 perusahaan asuransi termasuk ke dalamnya konvensional dan syariah.
Dosen yang baru saja meraih Best Paper kedua di ajang Forum Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah dengan riset berjudul ‘Analisis Stabilitas Efisiensi dan Kinerja Asuransi Syariah dalam Menunjang IKNB Syariah’ tersebut menambahkan, untuk itu setidaknya asuransi syariah ini butuh enam puluh tiga persen dari nilai premi, agar mencapai efisiensi yang jadi kendala utama industri tersebut saat ini.
“Kalau sekarang kan rata-rata masih jauh dari angka itu, sehingga ya dari pengumpulan dananya saja kecil. Lalu penyalurannya salah, akhirnya juga yang mengakibatkan market sharenya kurang baik dan sulit mereka untuk bertahan,” tegasnya.
Senada, pengamat dari Universitas Siliwangi yang ikut juga dalam riset tersebut, Agus Ahmad Nasrulloh M.ESy, mengatakan asuransi syariah memang memiliki tantangan yang besar untuk bisa bergerak ke arah yang positif. Sebab, tidak bisa dipungkiri dari segi market share, untuk syariah kan memang masih kecil. Minat masyarakat sendiri terhadap konsumsi industri syariah minim, apalagi untuk di syariah ini modalnya pun tidak seperti di konvensional. “Tetapi bukan berarti, asuransi syariah tidak bisa berlari kencang. Ceruk pasar yang masih kosong ini sangat bisa digali, apalagi jika merujuk dilihat dari tren industri syariah sebetulnya makin tinggi, dan dari data OJK pun pertumbuhan asetnya selalu tumbuh,” tambahnya.
Irman juga menjelaskan, jika ada perbedaan yang begitu mendasar dari asuransi syariah dengan asuransi konvensional yang masih belum diketahui masyarakat umumnya. “Kalau biasa di konvensional, premi yang dibayarkan tiap bulan itu diserahkan ke perusahaan jika tidak ada klaim ya milik mereka. Kalau di syariah, tidak begitu, premi itu milik kita. Tapi ketika tidak ada klaim dana tersebut diinvestasikan ke perusahaan lain, jika ada keuntungan juga dibagi, sesuai prinsip syariah,” papar dia. Maka itu perlu menurutnya, peran lembaga pendidikan terlibat disana untuk menciptakan SDM yang betul-betul paham terkait ekonomi syariah, sehingga prinsip dasar bisa lebih tersampaikan.
Terkait potensi, menurut Agus juga, sebagai fungsi asuransi sendiri yakni pengaman harta, lini itu tetap menjanjikan. “Kalau kami melihat, asuransi yang tidak kalah penting untuk digarap, di sektor pertanian dan peternakan yang risiko tinggi, padahal pemainnya di sana banyak,” ujarnya. Hasil riset keduanya ini juga pun kini menjadi bahan masukan bagi pemerintah melalui OJK yang membawahi industri asuransi syariah ini, untuk kemudian menjadi dasar kebijakan ke depannya. (Astri Puspitasari)***