PAGERAGEUNG, (KAPOL).-
Instruksi Bupati Tasikmalaya, Uu Ruzhanul Ulum untuk merelokasi 23 rumah terdampak pergerakan tanah di Kampung Citeureup, Desa Sukapada, Kecamatan Pagerageung akan kesulitan untuk terealisasi.
Hal ini karena pihak pemerintah Desa Sukapada masih kebingungan menindaklanjuti instruksi bupati tersebut karena belum ada peraturan yang jelas terkait relokasi.
Kepala Desa Sukapada, Dudung Kamal Mustopa mengatakan pemerintah desa tidak keberatan meminjamkan tanah kepada masyarakat untuk relokasi, karena memang ada tanah seluas satu hektar yang menjadi aset desa. Namun untuk meminjamkan tanah desa untuk digunakan tempat relokasi tersebut kepada masyarakat, proses perizinan harus seperti apa, karena belum ada aturan baik tingkat pusat maupun daerah yang mengaturnya.
“Saya masih gamang, karena prosedur perizinan penggunaan tanah khas desa sebagai tanah relokasi warga terdampak belum diatur baik di tingkat daerah maupun pusat,” ucapnya, Selasa (26/7/2016).
Menurutnya, seharusnya sebelum memberitahukan kepada masyarakat terdampat pergeseran tanah, bupati terlebih dahulu melakukan pembahasan. Karena masyarakat yang mendengar pernyataan bupati, tidak tahu terkait proses perizinan. Mereka hanya menagih apa yang dikatakan bupati dihadapannya. Padahal payung hukumnya, untuk menjadikan tanah desa sebagai tempat relokasi belum ada sampai saat ini.
Contohnya, relokasi di tahun 1995. Dimana sebanyak 30 KK terdampak pergerakan tanah direlokasi ke tanah milik desa, yang hanya melalui proses persetujuan bupati. Ternyata berakhir jadi permasalahan, karena memang tidak bisa hanya mengandalkan persetujuan bupati.
“Jadi masih bingung perizinannya. Apakah melalui rekomendasi Kementerian Dalam Negeri, atau hanya melalui persetujuan bupati. Soalnya pada relokasi awal tahun 1995, sempat jadi masalah, karena tidak bisa kalau hanya melalui rekomendasi bupati,” kata Dudung.
Dikatakan Dudung, di tahun 1995 relokasi rumah terdampak pergerakan tanah sempat menjadi polemik. Pada saat itu, ayahnya yang menjabat sebagai seorang kades harus berurusan dengan hukum karena prosedur relokasi dianggap menyalahi aturan.
Masyarakat dulu mengira tanah tersebut diberikan kepada mereka. Nyatanya, tanah khas desa hanya hak pinjam pakai, dan masyarakat menyewa dengan membayarkan hasil pertanian.
“Pengalaman dulu seperti itu. Saya tidak mau terulang, jadi saya minta ketegasan dari pemerintah dulu bagaimana aturan pinjam pakainya. Kalau misal pemerintah kabupaten mau beli tanah desa, itu lebih baik lagi. Prosedurnya lebih jelas,” tegas Dudung.
Selain masalah perizinan, Dudung juga khawatir, setelah masyarakat direlokasi, mereka tetap akan kembali ke rumah asal. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, masyarakat yang sudah direlokasi memilih kembali lagi karena alasan mata pencaharian.
“Rata-rata mata pencaharian mereka petani gula aren. Lokasinya jauh dengan tempat relokasi. Jadi mereka memilih kembali, dan rumah relokasinya justru di jual. Itu yang jadi masalahnya juga,” ucap Dudung.
Lebih lanjut, Dudung memprediksi relokasi 23 rumah terdampak pergerakan tanah akan berpolemik. Pasalnya, masih banyak rumah warga terdampak di kampung lainnya yang juga menunggu direlokasi.
Menurut dia, bahkan ada sekitar 6 keluarga yang rumahnya sudah roboh dan pindah tanpa bantuan dari pemerintah. Mereka tentu akan menuntut bantuan juga dari pemerintah.
“Seharusnya bupati jangan asal bicara dulu. Pasti akan memanjang permasalahannya, dan harus dibicarakan lagi,” kata Dudung. (Imam Mudofar)