​Jelang Pilkada, Perempuan Rawan “Diperkosa”

POLITIKA12 views

CIPEDES, (KAPOL).- Menjelang pilkada Kota Tasikmalaya tahun 2017, kaum perempuan rawan “diperkosa” oleh bakal calon wali kota. 

Mereka dijadikan alat pemuas suara meskipun tidak mengetahui kapasitas calon dan dihargai sekian rupiah dalam jangka waktu lima tahun. 

Demikian dikatakan aktivis perempuan Tasikmalaya, Heni Hendini dalam diskusi bertajuk Peran Perempuan dalam Politik di ruang rapat Surat Kabar Priangan, Jumat (12/8/2016).  

“Semua tergantung kita sebagai kaum perempuan, mau diperkosa oleh pilkada, atau memerkosa pilkada. Seperti kata tokoh nasional Gus Dur, yang banyak belum tentu baik, jika kita berbuat baik pasti akan banyak diikuti orang lain,” katanya. 

Kaum hawa saat ini, lanjut dia, paling realistis bagaimana menyukseskan pilkada. Sebab dari sekian lama suhu politik menghangat, tidak ada satupun calon dari perempuan yang bakal manggung. 

“Buat apa sih Rp 100 ribu lalu menyumbangkan suara setelah itu dilupakan. Memang ada beberapa faktor mengapa perempuan enggan berkompetisi di lingkungan politik praktis. Dan itu juga menjadi pemikiran bersama,” ujarnya. 

“Persoalannya, banyak tokoh perempuan belum memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin, tidak agresif memanfaatkan peluang. Belum lagi dominasi di kaum lelaki,” katanya menjelaskan. 

Padahal, ujar dia, potensi perempuan lebih teliti dalam menjalankan amanah. Dan untuk menggerakan orang pun tidak terlalu sulit. 

“Saya masuk parpol tahun 2009. Dan itu luar biasa berat karena banyak tuntutan ini itu dan dianggap tidak cocok politik itu di kalangan perempuan,” katanya.

“Oleh karena itu perlu ditopang dengan pendidikan yang tinggi agar bisa mengarungi politik. Dan juga partai menjalankan fungsinya memberikan pendidikan politik kepada seluruh elemen masyarakat,” ujarnya menjelaskan. 

Pengamat sosial Tasikmalaya, Asep M. Tamam mengatakan, saat ini munculnya tokoh-tokoh perempuan hanya keterkaitan darah dengan tokoh agama dan keluarga. Jarang sekali tokoh perempuan yang mencuat atas dasar kapabilitas dan integritas.

“Duduk di DPRD pun ada dugaan menangnya karena uang, bukan integritas, popularitas, dan integritas. Di sisi lain ada kecenderungan perempuan yang suci bersih sayang jika terjun ke politik yang penuh intrik,” katanya. 

Tak heran jika di negara-negara islam, partisipasi perempuan di bidang tersebut di bawah 10 persen. Hanya ada beberapa negara saja yang diatas angka tersebut dimana perempuan banyak manggung dalam kancah politik. (Inu Bukhari)***