TASIKMALAYA, (KAPOL).- Indonesia adalah negara yang dibangun dengan pondasi keberagaman. Dengan banyaknya jumlah pulau yang membentang dari Sabang sampai Marauke, jumlah suku, budaya, agama, adat dan bahasa jadi identitas Indonesia yang sesungguhnya. Toleransi menjadi kata kunci agar keragaman itu tetap menjadi sebuah keutuhan yang hakiki.
Sejarawan sekaligus Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indobesia), Amin Mudzakir mengatakan orang NU cenderung lebih toleran terhadap Kristen dan Cina, serta minoritas kultural-keagamaan lainnya, dibanding kelompok Islam sejawatnya. Hal ini, kata Amin, bisa dibuktikan melalui berbagai survey akademis, misal Menchik (2016), dan pengamatan sehari-hari. Setelah aksi 212, kecenderungan ini semakin kasat mata.
“Karena itu, kalau orang NU berbicara mengenai NKRI, maka yang dimaksud adalah NKRI yang inklusif, NKRI yang merangkul minoritas,” kata Amin, Rabu (17/5/2017).
Posisi NU sebagai arus utama Islam Indonesia, lanhut Amin, adalah kunci utama. Paham kebangsaan NU sangat menentukan masa depan NKRI di era politik identitas saat ini. Sementara itu, kata Amin, kelompok Islam lainnya juga mengklaim pro-NKRI, akan tetapi NKRI yang ekslusif, yang kurang atau tidak toleran terhadap minoritas kultural-keagamaan.
“Tentu saja hal ini bukan berarti mereka tidak mengembangkan hubungan sosial-ekonomi (muammalah) dengan minoritas-kultural, tetapi pada tataran politik mereka selalu meminta umat Islam diistimewakan. Contoh memilih gubernur kafir (non Muslim) diharamkan,” ujarnya.
Sekarang ini, kata Amin, kesempatan tersebut berada di tangan NU sendiri baik secara organisasi maupun secara individu. Jam’iah maupun Jama’ah. Apakah mereka mau mengimplementasikan paham kebangsaan mereka lebih jauh lagi atau sudah merasa cukup dengan kondisi yang ada.
“Saya cukup percaya NU baik secara organisasi maupun indivudu akan memilih yang pertama,” pungkasnya. (Imam Mudofar)