CIPEDES, (KAPOL).-
Selama ini, alihfungsi lahan seringkali didengungkan menjadi tantangan terbesar dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Bagaimana tidak, area pertanian semakin terbatas, namun kebutuhan jiwa akan pangan kian lama justru meningkat.
“Data di Kota Tasik saja, dari 5990 hektar lahan yang ada sekarang, kan tiap minggu itu berkurang. Makanya untuk kebutuhan beras, bisa dicek di Pasar Cikurubuk itu darimana datang asalnya,” ujar Mumu Nuryaman, Ketua Forum Gapoktan Kota Tasikmalaya.
Pria yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Komite Tetap Pertanian Kadin Tasikmalaya ini juga menyambung jika lebih dikhawatirkan pihaknya bukan hanya sempitnya lahan. Namun, lebih kepada minat untuk bertani. “Lima tahun lagi, apakah masih ada yang mau terjun ke sawah? Ini kiranya tidak kalah krusial untuk dipikirkan bersama,” tambah Mumu.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Tasikmalaya, H. Rahmat Kurnia mengatakan alih fungsi merupakan suatu keniscayaan. “Khususnya untuk wilayah Tasik, yang setelah pemekaran wilayah kemudian terbagi menjadi dua karakteristik yakni masyarakat kota dan pedesaan. Dimana yang sekitar sekarang menjadi kota, itu kan kegitan fisiknya non agraris, itu adalah konsekuensinya,” jelasnya.
Sedangkan, Anggota Komisi II DPRD Kota Tasikmalaya Tjahja Wandawa menegaskankan jika pihaknya kini telah menggodok terkait aturan tata ruang sekitar 4000 hektar harus menjadi lahan abadi, untuk menjawab terkait lahan yang kian menyempit.
“Kalau masalah alih fungsi adalah satu yang tidak bisa dihindarkan lagi, tapi sekarang kita tinggal bagaimana proteksi yang ada. Untuk bisa menyangga pangan di kota Tasik, ya adanya lahan abadi ini makanya penting,” terang dia.
Tokoh petani juga, Talim mendorong jika Tasikmalaya kini sudah semestinya memiliki lahan abadi. “Dulu itu Bandung jaman Walikota yang dulu sudah membeli 60 hektar lahan abadi dan itu diberikan kepada masyarakat, hasilnya 70% bisa dinikmati petani. Berasnya pun tidak masuk PAD, itu murni untuk warga miskin di Bandung, dan kita pun bisa menerapkan seperti itu,” ungkapnya.
Sekalipun prihatin, namun dia tidak dapat memaksakan untuk petani mempertahankan lahan yang dimilikinya.”Kita tidak bisa juga memaksakan, yang punya lahan adalah yang punya hak, misal 5×5 meter kan mendingan dibuat toko, daripada sawah,” ujarnya. (Astri Puspitasari)***