CIGALONTANG, (KAPOL).- Berbicara kopi seolah takkan pernah habis. Ada banyak cerita tentang si hitam yang digemari banyak kalangan itu. Mulai dari jenis, aroma sampai dengan bentuk penyajiannya. Kopi seolah mendapat tempat tersendiri di hati para penikmatnya.
Siang itu, di sebuah saung gazebo di Desa Nangerang Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya beberapa orang berkumpul. Mereka tampak serius dan ngobrol santai. Kopi dan beberapa camilan lainnya jadi pelengkap suasana siang itu yang kebetulan cuacanya sedikit mendung dan gerimis.
Mereka adalah pengurus Apeki (Asosiasi Petani Kopi Indonesia) Kabupaten Tasikmalaya. Masing-masing orang membawa bungkusan berisi biji kopi yang masih mentah. Mereka menyebutnya Green Bean Coffe. Biji kopi yang belum diroasting (disangray). Ada kopi Taraju, Pageurageung, Kadipaten dan kopi Cigalontang. Kopi dari luar daerah Tasikmalaya pun tampak tersaji di hadapan mereka. Ada kopi Temanggung, Cilacap, Aceh Gayo dan jenis kopi lainnya.
“Di Kabupaten Tasikmalaya sendiri ada 12 daerah penghasil kopi Arabica dan 5 daerah lainnya penghasil kopi Robusta,” kata Ketua Apeki Kabupaten Tasikmalaya, Himat Rusdianto, Sabtu (7/10/2017).
Himat menerangkan daerah penghasil kopi Robusta di Kabupaten Tasikmalaya membentang mulai dari Kecamatan Salopa, Jatiwaras, Cibalong, Parungponteng dan Bojonggambir. Sedangkan untuk daerah penghasil kopi Arabica membentang mulai dari Kecamatan Pageurageung, Kadipaten, Ciawi, Sukahening, Sariwangi, Leuwisari, Cigalontang, sampai dengan Taraju.
“Hanya memang biji kopinya belum banyak dikenal masyarakat sebagaimana halnya kopi-kopi dari daerah lain,” ujar Himat.
Selama ini, kata Himat, Apeki di Kabupaten Tasikmalaya mencoba berbagai macam terobosan. Tujuannya untuk memperkenalkan potensi kopi lokal dari Tasikmalaya yang ternyata tak kalah enak jika dibandingkan dengan biji-biji kopi dari daerah lain di Indonesia. Meskipun diakui Himat secara proses masih banyak petani kopi yang belum teredukasi memperlakukan kopi sebagaimana mestinya.
Contoh kecil, kata Himat, dari cara memanen kopi. Kopi yang enak itu yang bijinya dipanen dengan cara diambil atau dipetik satu persatu. Bukan dengan cara langsung diambil semua dari batang pohonnya.
“Ada petani yang mau menerima ada juga yang tidak. Alasannya karena capek kalau harus petik satu satu. Sedangkan harga jual juga relatif sama,” kata Himat.
Ke depan, lanjut Himat, Apeki punya banyak mimpi tentang dunia perkopian di Tasikmalaya. Khususnya ikhwal bagaimana memperkenalkan potensi kopi lokal Kabupaten Tasikmalaya yang ternyata jadi salah satu daerah penghasil kopi di Jawa Barat.
Pasalnya, kata Himat, selama ini kopi Tasikmalaya baru dikenal dari mulut ke mulut saja. Baru dikenal dari cerita ke cerita. Tapi saat di minta untuk menunjukkan produk kopinya, masih banyak yang kebingungan karena minimnya stok.
“Namun tentunya ini perlu suport dan dukungan dari berbagai pihak. Utamanya pemerintah daerah,” kata Himat. (Imam Mudofar)***