KOTA, (KAPOL).-Akibat dihadapkan pada berbagai permasalahan, pertumbuhan industri kulit di Garut sempat mengalami keterpurukan. Namun saat ini meski secara perlahan, pertumbuhan industri kulit mulai bangkit kembali.
Wakil Ketua Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Kabupaten Garut, Anay Sukandar, menyebutkan berdasarkan hasil kajian Bappeda Jawa Barat, industri kulit Garut kini mulai bangkit setelah sebelumnya sempat mengalami kelesuan.
“Hasil kajian Bappeda Jabar, perputaran uang yang terjadi di daerah sentra kerajinan kulit Sukaregang per tahunnya saat ini tercatat mencapai Rp 1 triliun. Ini tentu menandakan adanya peningkatan dibanding sebelumnya yang sempat mengalami penurunan tajam,” ujar Anay, Minggu (10/2/2019).
Dikatakannya, kelesuan yang sebelumnya terjadi pada industri penyamakan dan pengrajin kulit di Garut disebabkan berbagai faktor.
Salah satunya akibat kekurang siapan para pengusaha menghadapi era perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Sejak MEA diberlakukan mulai 2015 lalu, berbagai produk perdagangan termasuk produk kerajinan yang menyerupai produk perajin kulit Sukaregang Garut mulai menyerang pasaran Indonesia. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi kerajinan kulit Sukaregang.
“Berbagai macam produk yang menyerupai produk kerajinan kulit kita dari negara lain terus menggempur. Ini menjadi pesaing kita yang sangat berat,” katanya.
Menurut Anay, hal ini dikarenakan harga produk dari luar yang jauh lebih murah dibanding harga produk yang dihasilkan di Sukaregang karena memang kualitasnya yang juga beda.
Sementara harga jual produk dari industri kulit yang telah dikemas atau diproduksi menjadi aneka ragam kerajinan dari mulai jaket kulit, sepatu dan berbagai aksesoris berbahan dasar kulit sapi dan domba dari Sukaregang jauh lebih tinggi karena memang kualitasnya yang jauh lebih baik.
Diakuinya, persiapan para pengusaha kulit di Kabupaten Garut dalam menghadapi MEA sangat lamban. Ini menjadi penyebab lemahnya daya saing sehingga industri penyamakan kulit Sularegang mengalami penurunan.
Hal ini tuturnya, diperparah pula dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dollar. Di sisi lain obat-obatan yang selama ini digunakan untuk penyamakan kulit di Garut didatangkan dari negara lain.
Tak hanya itu, Anay juga melihat selama ini peran pemerintah yang sangat kurang dalam melakukan pembinaan terhadap para pengusaha kulit di Garut. Ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan produksi kulit serta kesiapan dalam menghadapi berbagai kendala termasuk MEA.
Namun Anay mengaku sangat optimis dengan perputaran uang yang terjadi Rp1 triliun per tahun sesuai hasil kajian Bappeda, kini industri kulit Sukaregang Garut sudah mulai bangkit kembali. Menurutnya ini sebuah hal yang sangat menggembirakan yang harus disikapi dengan baik oleh pengusaha dan pemerintah.(Aep Hendy S)***