Delapan Poin Mesti Dikaji Sebelum Implementasi Full Day School

EDUKASI11 views

​TASIKMALAYA, (KP).-

Rencana yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk menerapkan sekolah sehari penuh alias full day school, demi membenahi karakter generasi muda lebih tangguh tersebut, tidak terlalu disambut baik oleh PGRI Kota Tasikmalaya. 

Pasalnya, menurut Ketua PGRI Kota Tasikmalaya Bambang Hermana ada langkah alternatif lain yang lebih tepat untuk meningkatkan mutu karakter peserta didik. “Sebetulnya ya tidak perlu dengan penambahan jam seperti itu, kita bisa mulai dari hal kecil saja, yang sederhana, untuk membangun karakter dan mentalitas siswa yang kuat ini. Bisa dimulai dari sekolah yang mengembalikan nilai-nilai tradisi, tatakrama, itu hadir di aktivitas,” ujarnya, Selasa (9/8/2016) kemarin. Seperti yang pihaknya telah coba di sekolahnya yakni, membiasakan anak untuk tidak konsumtif (jajan) dalam satu hari khusus selama enam hari sekolah.

Bambang melanjutkan, setidaknya ada delapan poin yang disoroti untuk idealnya lebih dikaji mendalam sebelum wacana full day school tersebut diimplementasikan. Diantaranya, evaluasi pemerintah terhadap Standar Nasional Pendidikan saat ini apakah sudah tercapai atau belum, evaluasi hasil akreditasi sekolah, kesiapan pihak guru, kajian persoalan iklim tropis, budaya masyarakat setempat, sistem pengawasan, kesiapan pemerintah daerah, hingga fasilitas sekolah itu sendiri.

“Sebetulnya ya setuju saja, ketika anjuran ini tidak merugikan guru, siswa, masyarakat. Tapi kembali, kita juga tidak bisa pungkiri dengan kondisi pendidikan saat ini, rasanya berat kalau dipaksakan harus demikian. Apalagi, belum ada kejelasan apakah dengan demikian full day school mampu memberikan pendidikan yang lebih baik,” tambah dia.

Di Kota Tasikmalaya sendiri, menurutnya sudah ada sekolah yang menerapkan full day school tersebut. Dia menilai hal tersebut pun salah satunya bisa jadi bahan dasar untuk pengkajian, sejauh mana efektifnya dibandingkan sekolah yang memiliki jam reguler.

“Dari PGRI sebetulnya yang paling digaris bawahi yakni perlindungan kinerja profesi guru, sebab sekarang saja peraturan perlindungan profesi masih sebatas diatura dalam salah satu poin PP saja. Dan lagi, tidak bisa menutup mata apabila para pendidik ini juga punya keluarga di rumah, ini baiknya harus dipikirkan matang-matang. Jangan sampai full day school hanya sebatas tren saja,” kata dia.

Salah satu yang memberatkan kebijakan tersebut, selain fasilitas sekolah yang masih belum merata, juga melihat kultur masyarakat dan kondisi tropis. “Jika diterapkan di kota besar yang jam kerja orangtuanya pagi hingga malam, bisa cukup relevan menjawab solusi. Tetapi di Kota Tasik ini kan tidak seperti itu kondisinya. Belum lagi ketika merujuk kondisi tropis, kenyamanan anak belajar di sekolah pukul 2-3 itu kan dipertanyakan. Sebab untuk nafas saja rasanya mereka harus berkompetisi,” tegasnya.

Sehingga, dia meminta untuk pemerintah juga kementerian lebih memantangkan ulang gagasan tersebut dari mulai kurikulum, hingga teknisnya. “Jangan sampai hanya menambah beban tugas guru, padahal porsi terbesar tetap berasal dari rumah. Program ini pun kami harapkan tidak menjadikan penjajahan gaya baru atau penjara anak di zaman modern,” pungkasnya. Bambang menilai, sekolah negeri berbasis pesantren, dapat menjadi salah satu solusi yang baiknya dikembangkan pemerintah. Sekalipun pesantren sampai saat ini masih tidak lepas dari kritisi, namun manfaat yang positif telah banyak diakui. “Jadi kalau arahnya ke pembentukan karakter, ya itu pendidikan basis pesantren sebetulnya lebih baik,” ujarnya. (Astri Puspitasari)***