GARUT, (KAPOL).- Maraknya aksi penjualan buku pelajaran yang diduga melibatkan pihak sekolah, mendapat sorotan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Garut.
DPRD pun meminta pihak-pihak terkait termasuk di dalamnya Bupati turun tangan dalam menyikapi hal itu.
Anggota Komisi IV DPRD Garut, Yusep Mulyana, menyebutkan maraknya aksi pejualan buku yang melibatkan pihak sekolah di Kabupaten Garut sebenarnya bukan hal yang baru akan tetapi sudah berlangsung sejak lama.
Bahkan menurutnya bukan hanya buku, pihak sekolah juga sering memaksakan menjual lembar kerja siswa (LKS) serta baju atau bahan seragam kepada siswa.
“Modusnya, pihak sekolah atau guru memang tidak mewajibkan akan tetapi bahan pelajaran, soal, dan pekerjaan rumah semuanya ada di dalam buku atau LKS sehingga mau tak mau siswa tetap harus membelinya.Ini kan sama saja dengan pemaksaan namanya,” komentar politis Partai Nasdem ini.
Yusef yang juga mempunyai basic sebagai praktisi hukum ini menilai praktik tersebut dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 8 tahun 2016.
Di sisi lain jika Pemda tidak ingin disebut melegalkan praktik yang jelas melanggar aturan itu.
Maka, pemda harus benar-benar berupaya melakukan pencegahan secara menyeluruh dan benar-benar memberi dampak.
Tiap saat Pemda baik langsung melalui Bupati maupun Kadisdik tutur Yusef, selalu mengeluarkan larangan baik secara lisan maupun surat edaran akan tetapi tiap tahun pula kejadian seperti ini selalu saja terulang.
Tiap tahun ajaran baru selalu saja banyak orang tua siswa yang mengeluhkan mahalnya masuk sekolah serta mahalnya biaya pembelian buku dan LKS.
Ia mengaku pesimis jika para pelaku pengarah pembelian buku LKS ini bisa ditindak secara tegas.
Hal itu mengingat di sekolah yang ia maksud banyak anak pejabat Pemda Kabupaten Garut, aparat kepolisian, dan aparat kejaksaan mengikuti pendidikan.
Disampaikan Yusef, padahal Larangan penjualan buku paket dan LKS di lingkungan sekolah itu sudah jelas aturannya yakni UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Dua aturan itu secara tegas menyebutkan kewajiban bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai 15 tahun untuk mengikuti pendidikan.
“Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhajir Effendy harus bisa menyakinkan kepada orang tua siswa bahwa LKS memang tidak dibenarkan dari hasil pembelian baik dari guru, maupun dari luar sekolah,” ujarnya.
Menurut Yusef, jika sanksi yang diberikan hanya bersifat “gertak sambal” saja, hal itu sama juga bohong dan dengan demiukian pemerintah juga bersalah karena membiarkan pelanggaran yang jelas-jelas terjadi.
Sebaiknya pihak berwenang benar-benar membuktikan kalau memang ada sekolah yang menjual buku atau LKS benar-benar diberi sanksi tegas berupa pencopotan jabatan.
Celakanya lagi tambah Yusef, biasanya para orang tua pun tak berani menolak untuk membeli buku atau LKS karena takut anaknya mendapatkan sanksi dari pihak sekolah.
Praktik jual-beli LKS bukan hanya terjadi di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, namun juga terjadi di Sekolah Dasar.
Dikatakannya, pihaknya mendorong agar Tim Unit Penanggulangan Pungutan Liar bergerak cepat melakukan penindakan terhadap para oknum yang melakukan jual-beli buku atau LKS.
Saat ini pihaknya pun sedang melakukan penelusuran sekolah dan pihak mana saja yang terlibat dalam penjualn buku atau LKS ini.
“Larangan sekolah menjual LKS pada siswa itu diatur dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 yang menerangkan bahwa penyelenggara dan tenaga pendidik, baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, perlengkapan pelajaran, bahan pelajaran, serta pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan,” kata Yusef.
Lebih jauh diungkapkannya, aturan yang sama juga terdapat dalam Permendikbud Nomor 8 tahun 2016 tentang buku yang digunakan oleh satuan pendidikan. (Aef Hendy S)***