TAWANG, (KAPOL).- Ratusan warga terdampak mega proyek bendungan Leuwi Keris, resah dengan beredarnya dokumen ganti rugi tanah milik mereka yang dinilai bodong.
Pasalnya beredarnya dokumen bodong tentang persetujuan ganti rugi proyek nasional Bendungan Leuwikeris di Kabupaten Tasikmalaya, itu tidak melibatkan warga terdampak secara keseluruhan namun hanya perwakilan satu dua orang saja.
Hal ini jelas membuat warga terdampak merasa disepelekan dan tidak diperhatikan yang menjadi haknya. Dalam dokumen yang beredar itu disebutkan, warga seolah sudah menerima proses ganti rugi tanah berikut tahapannya.
Padahal itu hanya satu dua warga saja dan tidak ada penunjukan perwakilan terhadap mereka (warga yang menandatangani surat perjanjian dengan pemerintah). Justru yang setuju itu sejatinya bukan sebagai warga Desa Ancol, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya.
“Dokumen tersebut ditandangani sejumlah warga terdampak yang dipertanyakan kebenarannya. Dokumen tersebut ditandatangani pejabat Kementerian PUPR dan Kementerian ATR/BPN serta sejumlah warga. Ini sangat ironis karena selama ini kami terus berjuang untuk mendapatkan keadilan dalam proses ganti rugi tanah,” kata Koordinator warga terdampak pembangunan Bendungan Leuwikeris, Evi Hilman sambil menunjukan dokumen bodong yang meresahkan warga di Sekretariatnya di kawasan Panglayungan, Kota Tasikmalaya, Kamis (1/2/2018).
Dikatakannya, ada lima poin dalam dokumen berita acara tersebut, dua di antaranya bahwa setelah proses ganti rugi selesai tidak ada lagi penambahan maupun kompensasi. Proses ganti rugi sudah sesuai aturan dan dapat diterima masyarakat terdampak. Hal tersebut sangat meresahkan dan berbeda di lapangan.
Menurut Evi, sudah hampir setahun warga terdampak proyek Bendungan Leuwikeris memperjuangkan haknya, namun hingga kini belum ada perhatian dari pemerintah pusat. Selama ini warga menuntut agar ada persamaan nilai ganti rugi.
Di dokumen itu, warga terdampak yang menandatangani cuma seorang bernama Imas. Sedangkan pejabatnya dari muspika cuma asep D. Dari pusat adalah pejabat eselon 2 diantararanya M Arsyadi (Sekretaris Dirjen SDA) dan Alen Saputra (Sekretaris Dirjen Pengadaan Tanah BPN).
“Ini jelas sebuah rekayasa dari pejabat tersebut untuk membuat palaporan ke pusat. Sedangkan di poin 3 disebutkan proses pengadaan tanah telah sesuai dengan pertauran dan perundangan dan dapat diterima warga terdampak. Masa satu orang warga bisa memutuskan tanpa ada persetujuan penunjukan perwakilan,” katanya.
Selain itu, lanjut Evi, pihak kecamatan seharusnya berada dan membela rakyatnya. Namun ini malah berpihak pada penguasa. Sudah barang tentu ini ada rekayasa dan dokumen tersebut bodong.
“Kami akan mengadakan aksi besar-besaran selama 7 hari 7 malam menginap di BBWS Citanduy, bahkan bila perlu kembali aksi ke Istana,” ujarnya
Salah satu warga terdampak Heri (36) mengatakan tidak pernah diikutsertakan dalam musyawarah yang menghasilkan dokumen tersebut. Selama ini warga hanya menuntut agar ada persamaan nilai ganti rugi. Tidak muluk-muluk menuntut lebih dari pemerintah
Sebab warga terdampak di wilayah Ciamis mendapat ganti rugi Rp 151 ribu per meter persegi, sedangkan warga di Kabupaten Tasikmalaya hanya mendapat Rp 61 ribu per meter persegi, padahal NJOP di Tasikmalaya jauh lebih besar.
“Kami belum mengetahui apakah dokumen itu asli atau tidak. Yang jelas bila melihat isinya sangat menyakitkan dan meresahkan. Mungkin saja ada segenlintir warga yang setuju lalu dianggap semua warga terdampak setuju,” katanya.
“Kami tidak dilibatkan, ada apa ini jelas sudah kebohongan publik. Hanya beberapa warga saja yang diajak musyawarah. Padahal warga yang menuntut keadilan ini mencapai sekira 300-an kepala keluarga dengan luas lahan sekitar 285 hektare. Minimal ada undangan untuk hadir, inintidak sama sekali,” katanya.
Warga lainnya, Iwan (38), menyayangkan keluarnya berita acara tersebut. “Ini seakan menyiratkan pemerintah sudah tidak peduli lagi dengan tuntutan yang kami perjuangkan,”
Iwan berharap dokumen itu palsu karena tidak jelas dari mana warga terdampak menyetujuinya. Selain itu kami sebagai warga terdampak menuntut pemerintah untuk terjun ke lapangan jangan hanya sebatas laporan dari anak buah dan kemudian dilaporkan lagi ke atasan hanya untuk sekedar laporan.
“Kami berharap dokumen itu palsu karena tidak mewakili dan menjadi solusi warga terdampak,” ujarnya. (Erwin RW)***