TASIKMALAYA, (KAPOL).-
Tahun 1950an, tepatnya lima tahun setelah Indonesia merdeka, bisa disebut sebagai masa keemasan produksi payung geulis di Tasikmalaya. Payung geulis tersebar ke berabagi daerah di Indonesia.
Pemilik galeri sekaligus pengrajin payung geulis di Kampung Panyingkiran Kota Tasikmalaya, Yayat Sudrajat mengatakan fungsi payung geulis pada waktu itu sebagaimana payung-payung pada umumnya.
“Gunanya ya untuk berteduh dari panas maupun hujan. Sama seperti payung-payung yang ada sekarang,” kata Yayat, Minggu (24/04/2016) siang tadi.
Di Kampung Panyingkiran sendiri, lanjut Yayat, hampir seratus persen warganya berprofesi sebagai pengrajin payung geulis. Bahkan pengrajin payung geulis ini tersebar ke berbagai kampung yang ada di Tasikmalaya.
“Ekonomi masyarakat pada waktu itu cukup terbantu. Omset penjualan payung geulis terbilang tinggi. Permintaan payung geulis dari berbagai daerah terus berdatangan,” kata Yayat.
Sampai akhirnya, tutur Yayat, memasuki awal tahun 1980an, produksi payung geulis di Tasikmalaya mengalami krisis. Jumlah permintaan menurun dratis. Banyak pengrajin dan pengusaha payung geulis yang gulung tikar.
“Payung-payung yang terbuat dari besi dan kain itu sudah mulai masuk di Indonesia. Payung geulis yang notabene menggunakan bahan-bahan dari alam ini kalah bersaing,” kata Yayat.
Keadaan ini berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya keberadaan payung geulis perlahan mulai dilupakan masyarakat Tasikmalaya. (Imam Mudofar)