Oleh Dede Kurnia S.Pd
Selain ketupat dan bingkisan, ada satu tradisi yang identik dengan lebaran, yaitu mudik. Orang-orang rela berdesakkan, berkorban materi dan tenaga. Tak sedikit orang mendadak berani merampok asal dapat modal buat mudik lebaran.
Tentu kita pun masih ingat dengan keluarga yang beberapa tahun lalu pernah mudik dari Ibu kota menuju salah satu kota di Timur Pulau Jawa dengan menaiki bajaj yang over cavacity, namun mereka menikmati itu dan kepayahan mereka di jalan pun menjadi warna perjuangan mudik mereka.
Pokoknya segala cara dilakukan, yang penting bisa balik ke kampung halaman. Pokoknya mudik! Tak pelak, kenekadan setiap masyarakat untuk mudik membuat mereka menggadaikan keselamatan demi mendapat satu syawal di kampung halaman.
Berlebaran di kampung halaman dianggap sebagai ibadah penyempurna setelah sebulan penuh berpuasa. Maka, dalam hal ini, hukum mudik jadi dianggap wajib, bahkan dalam beberapa kasus mudik yang dianggap wajib ini kadang-kadang bisa menjadi lebih wajib daripada puasa itu sendiri.
Banyak orang mengorbankan kewajiban berpuasa dalam menjalani mudiknya. Biar tidak puasa, mudik tetap harus. Puasa boleh batal, mudik jangan urung. “Gusti Allah kan toleran” biasanya kata-kata itu menjadi alasan bagi mereka yang membatalkan puasa demi mudiknya. Kadang-kadang lucu juga. Puasa itu kan jelas dalil serta perintahnya, wajib. Sementara mudik hanya bagian dari tradisi, tidak mudikpun lebaran tetap jadi dan tidak kehilangan substansi. Tapi tak apa-apalah, anggap saja fenomena mudik yang demikian itu sebagai dinamika dalam keragaman budaya di Inodnesia.
Jika mudik dimaknai secara baik dengan tidak menggeser nilai-nilai yang terkandung dalam puasa itu sendiri. Selain dari sudut pandang sosial ekonomi, sebagai sarana mobilitas ekonomi atau mobilitas penduduknya sendiri. setidaknya ada dua sudut pandang mendasar yang dapat kita pelajari dari tradisi ini, yaitu sudut pandang psikologis dan spiritual.
Secara prikologis, mudik diartikan sebagai panggung ekspresi perjuangan hidup dan ajang pembuktian diri dalam dimensi ekonomi. Ini berhubungan dengan tujuan utama orang pergi ke kota, yakni perbaikan ekonomi sekaligus relevansinya dengan soal peningkatan strata sosial dimata masyarakat. Maka tidak heran, ketika pemudik tiba di kampung halamannya, nilai-nilai perkotaan akan lebih menonjol dibanding ke nDesoannya. Umumnya para pemudik akan tampil lebih necis dan trendy, baik itu dari segi penampilan, bahasa, gaya, serta aksen-aksen lain yang akan mempertegas bahwa pemudik yang bersangkutan sudah tidak ndeso lagi. Dengan demikian, pemudik yang telah dianggap suskses itu dengan sendirinya oleh masyarakat akan ditempatkan pada strata sosial yang lebih tinggi dibanding sebelum pemudik itu hijrah ke kota. Pada titik inilah si pemudik akan merasa bahwa usahanya di kota telah membuahkan hasil. Strata sosialnya telah sedikit meningkat.
Secara spiritual, ini yang paling penting. Mudik merupakan tuntutan jiwa untuk akrab kembali dengan asal-usulnya. Mudik ini menandakan komitmen batin manusia terhadap sangkan paran dirinya.
Orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan: Komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak-ibu, alam semesta, dan berujung di Alloh melalui runtutan akar historisnya. Hal ini menandakan bahwa betapapun seseorang melakukan perjalanan yang sangat jauh, betapapun seseorang memiliki posisi strata sosial yang cukup tinggi, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka tidak boleh mencerabut diri dari akar asal-usulnya.
Meskipun saat ini muncul budaya melupakan akar yang lumrah ditemui pada komunitas manusia yang menyebut dirinya modern, sebenarnya itu budaya yang keliru. Pasalnya, setiap manusia harus tetap mudik. Mudik yang sebanar-benarnya mudik ke tempat segala mudik, yakni kehadapan Tuhan.
Dengan mudik, kita selalu diingatkan pada titik nol tempat segala kembali (kematian). Dan karena hal ini pulalah kita mestinya banyak bersyukur, pasalnya dengan mudik, minimal kita akan selalu mengingat kematian dalam arti mudik yang sesungguhnya. bukankah kematian adalah ancaman yang efektif dan selalu membuat kita tergesa-gesa untuk memacu diri dalam kebaikan? Semoga saja. Semoga fenomena mudik ini menjadi langkah awal dalam melakukan fastabiqul khoirit sebagai bekal mudik yang sebenar-benarnya mudik.***