Meneroka Ibu Kota Sukapura Hijrah dari Sukaraja Ke Manonjaya (1)
PENGGALIAN suatu peristiwa masa lampau (sejarah) kerap berbeda. Penyebab karena berbedanya sumber data, metode penelitian dan keterbatasan sumber.
Meski demikian, perbedaan ini harus terus berjalan karena lambat laun akan menjadi kekayaan literasi dalam menemukan kebenaran suatu sejarah. Seperti peristiwa kepindahan Ibu Kota Sukapura (Tasikmalaya) dari Sukaraja ke Manonjaya.
“KAPOL” mengumpulkan literatur karya Alm. R. Sulaeman Anggapradja (Sesepuh Kulawargi Sukapura Cabang Garut) dan Buku berbentuk Buletin terbitan 1933 dalam rangka memperingati berdirinya 300 tahun Tasikmalaya (1632-1933) era Bupati Tasikmalaya ke-14 RAA. Wiratanuningrat.
Dalam Sejarah Sukapura jilid dua, karya Sulaeman Anggapradja dan Buletin Peringatan Hari Jadi Tasikmalaya ke-300, disebutkan proses kepindahan Ibu Kota Sukaraja ke Harjawinangun (Manonjaya) di masa pemerintahan Sukapura yang dipimpin Bupati Sukapura ke-8, Raden Jayaanggadipa atau disebut Raden Tumenggung Wiradadaha VIII serta periode awal di Manonjaya era Bupati Raden Tumenggung Adipati Danuningrat atau sering disebut Raden Tanuwangsa, Patih Bupati Garut.
Selama Sukapura dipimpin Jayaanggadipa tahun 1807-1837, keresidenan Priangan mengalami perubahan politik begitu besar atas kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels. Salah satunya terjadi penggabungan wilayah dan pembubaran wilayah yang menimpa Kabupaten Limbangan, Sukapura dan Galuh pada 2 Maret 1811.
Pembubaran tiga kabupaten itu karena wilayah tersebut tidak lagi menghasilkan kopi, serta terjadinya pembangkangan Bupati Jayaanggadipa atas perintah Hindia Belanda untuk menanam Nila di sawah-sawah dengan alasan kalau sawah ditanami nila, kebutuan padi untuk rakyat terganggu.
Dampaknya, Sukapura, Limbangan dan Galuh dimasukan pada Pemerintahan Daerah Priangan Cirebon. Dan Bupati yang menjabat di daerah itu dicopot (Jani Noor)