GARUT, (KAPOL).- Sejak dulu, Kabupaten Garut dikenal sebagai daerah penghasil kopi dengan kualitas yang baik dan memiliki cita rasa yang khas. Namun karena kurangnya perhatian serta dukungan pemerintah setempat, pada akhirnya kopi asal Garut legalitasnya malah diambil daerah lain termasuk Bandung.
Salah seorang pengusaha kopi Garut, Agus Ebod Setiawan, menyebutkan di Kabupaten Garut cukup banyak daerah yang menjadi penghasil kopi berkualitas tinggi. Dan kopi yang berasal dari tanah Gunung Papandayan dinyatakan sebagai kopi yang terbaik saat coffing test di Bandung pada 2016 lalu.
Dikatakan Ebod, kopi yang berasal dari tanah Gunung Papandayan merupakan kopi biji kuning yang paling banyak diminati. Tak heran kalau selama ini kopi biji kuning ini selalu menjadi incaran pembeli baik dalam negeri maupun luar negeri.
“Kopi asal Kabupaten Garut sudah dikenal dan memiliki cita rasa yang khas. Apalagi kopi biji kuning asal tanah Gunung Papandayan. Namun sayangnya selama ini perhatian serta dorongan Pemkab Garut sangat kurang sehingga kopi Garut ini kurang terpromosikan,” ujar Ebod, Jumat (5/5/2017).
Padahal, tutur Ebod, kalau saja Pemkab Garut gencar membantu untuk mempromosikan kopi Garut, sudah pasti akan lebih dikenal dan dicari. Seperti halnya kopi Gayo yang bisa dikenal luas karena peran serta pemerintah setempat yang sangat besar untuk mempromosikannya.
Menurut Ebod, kopi biji kuning yang selama ini legalitasnya dikenal dari Bandung. Padahal sebenarnya
berasal dari Desa Margamulya, Kecamatan Cikajang.
Berdasarkan sejarahnya, di dunia ini hanya ada tiga daerah yang menjadi penghasil kopi biji kuning, salah satunya Kabupaten Garut.
“Hanya ada tiga daerah di dunia yang mengahsilakn kopi biji kuning dan salah satunya dari Garut. Dua lagi berasal dari Brazil dengan nama borbon dan dari Flores dengan sebutan yellow katura,” kata Ebod saat ditemui di kafenya di Jalan RSU dr Slamet.
Ebod menerangkan, selama ini pembeli dari Amerika, Eropa, dan Korea kerap meminta kopi biji kuning. Namun ia mengaku belum sanggup memenuhi permintaan tersebut karena berbagai alasan.
Di sisi lain, Pemprov Jabar pun sudah meminta agar kopi dari Garut bisa diekspor sekitar 100 ton.
Curah hujan yang sangat tinggi saat ini, menurut Ebod sangat berpengaruh terhadap hasil produksi kopi di Garut yang terus berkurang. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa dirinya merasa pesimis untuk bisa memenuhi permintaan dari luar yang begitu tinggi.
Diungkapkan Ebod, saat ini dirinya membina tiga kelompok petani kopi di Cikajang dengan luas lahan yang dikelola mencapai 35 hektare.
Sedangkan berdasarkan data di Pemkab Garut, jumlah produksi kopi di Garut pada 2015 sampai 2016 mencapai sekitar 1500 ton.
Namun, tambahnya, hingga saat ini kopi dari Garut ini tidak ada yang diekspor ke luar negeri. Salah satu alasannya, ada kekhawatiran kalau kopi dari Garut itu nantinya akan dirubah menjadi merk luar. Akibatnya, dirinya saat ini lebih banyak melayani konsumen domestik.
“Harga kopi biji kuning ini jauh lebih mahal dibanding jenis kopi lainnya. Per kilonya saat ini mencapai Rp 250 ribu sampai Rp 400 ribu. Ini harga yang sangat menggiurkan tentunya,” ucapnya.
Diakuinya, sejak tahun 2015 dirinya sudah meminta agar Pemkab Garut bisa mendukung para petani kopi untuk mempromosikan. Namun entah apa alasannya, hingga kini belum ada realisasi sehingga kopi Garut ini belum menjadi salah satu tanaman unggulan di Kabupaten Garut.
Untungnya, selama ini ada pihak Pemprov Jabar yang membantu ikut mempromosikan kopi Garut.Bahkan Pemprov Jabar sudah meminta agar kopi biji kuning yang diberi label kopi Ebod itu diekspor oleh Pemprov Jabar.(Aep Hendy S)***