GARUT, (KAPOL).- Selain mendapatkan pengobatan fisik, MR, bocah berusia tujuh tahun yang menjadi korban penganiayaan sadis sang ibu kandung juga akan menjalani pengobatan psikis. Untuk dapat mengembalikan mental MR sendiri, diperlukan adanya peran serta berbagai pihak.
Hal itu diungkapkan
Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Pusat, Bimasena, saat berkunjung ke Mapolres Garut, Rabu (21/2/2018).
Kunjungan pihak Komnas PA sendiri ada kaitannya dengan kasus penganiayaan seorang anak oleh ibunya sendiri dengan cara disetrika sehingga mengalami sejumlah luka cukup parah.
Menurut Bimasena yang saat itu didampingi Ketua Komnas PA Jabar, Diah Puspitasari, dalam penanganan kasus kekerasan yang dilakukan ibu kandung terhadap anaknya ini, pihak Polres Garut berkoordinasi dengan Komnas PA.
Pihaknya sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan Polres Garut yang dinilainya sangat cepat dalam upaya penaganan kasus tersebut.
“Dalam penanganan kasus anak di bawah umur yang disetrika oleh ibu kandungnya sendiri sehingga mengalami sejumlah luka cukup serius ini, jajaran Polres Garut berkoordinasi dengan kami.
Ini merupakan langkah yang cepat dan tepat dan sangat kami apresiasi,” ujar Bimasena saat ditemui di Mapolres Garut, Rabu (21/2/2018).
Bimasena menyebutkan, pascapersitiwa tragis yang dialaminya, korban bukan hanya harus mendapatkan pengobatan yang bersifat pisik akan tetapi juga psikis.
Oleh karena itu, korban akan menjalani trauma healing untuk memulihkan mentalnya dan kembali bisa beraktivitas normal.
“Alhamdulillah, saat ini korban sudah ditangani sementara oleh P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Kabupaten Garut. Pengobatan pisik pun sudah dijalaninya sehingga luka yang dialaminya kini mulai berangsur membaik,” katanya.
Dalam upaya pengobatan psikis korban, tutur Bimasena, hal itu akan dilakukan oleh tim ahli.
Kemungkinan untuk bisa mengembalikan mental korban diperlukan waktu yang cukup panjang akan tetapi hal itu bukan menjadi persoalan dan tetap akan dilakukan.
Bimasena juga menyatakan, hal penting lainnya adalah korban harus terus melanjutkan pendidikannya.
Jangan sampai perkara yang saat ini menimpanya memaksanya untuk berhenti sekolah.
Dikatakannya, upaya pengembalian mental korban tentunya memerlukan peran serta semua pihak, bukan hanya pemerintah.
Orang-orang yang ada di sekitar lingkungan korban, tambahnya, justeru memiliki peran paling besar dalam upaya memulihkan kondisi psikis korban.
Oleh karena itu Bimasena meminta agar orang-orang di lingkungan korban turut mendukung proses trauma healing yang akan dijalani korban.
Demikian pula halnya dengan peran guru dan teman-teman korbann yang juga mempunyai andil yang sangat besar.
“Pendidikan korban harus lanjut, itu hak anak. Namun perlu adanya pemulihan psikis korban dulu dan di sini peran guru dan lingkungan harus membantu proses itu supaya korban tidak dibully,” ucapnya.
Masih menurut Bimasena, berdasarkan data yang ada, Garut merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang tingkat kasus kekerasan terhadap anaknya tinggi.
Selain Garut, di Jabar ada juga Kabupaten Karawang dan Sukabumi yang kasus kekerasan terhadap anaknya juga tinggi
“Garut memang masuk tiga besar kasus kekerasan terhadap anak yang tinggi di Jabar. Hal ini tentu harus kita sikapi bersama agar kasus kekerasan terhadap anak di Garut tidak terus meningkat,” ucap Bimasena.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, seorang anak berusia tujuh tahun berinisal MR telah menjadi korban penganiayaan yang dilakukan ibu kandungnya sendiri, NN (32), Senin (19/2/2018).
MR disiksa dengan cara disterika sehingga mengalami luka cukup serius di beberapa bagian tubuhnya.
Peristiwa itu dilakukan NN di rumah yag ditinggalinya bersama MR dan orang tuanya di Kampung/Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan.
Hingga saat ini polisi belum bisa memastikan motif NN melakukan hal itu. Namun berdasarkan keterangan pihak keluarga, NN diduga defresi akibat faktor ekonomi pascaberpisah dengan suaminya. (Aep Hendy S)***