CISAYONG, (KAPOL).-Hilda Fauziah yang meninggalkan rumahnya di Kampung Cijambu, Desa Cikawung, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya, karena diduga belum siap dinikahkan orang tuanya, kini sudah ditemukan dan kembali bersama orang tuanya. Namun kasus tersebut terus mendapatkan perhatian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Kabupaten Tasikmalaya.
Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto kepada “KP” Jumat (1/3/2019) mengatakan kasus seperti yang menimpa Hilda agar menjadi cermin bagi masyarakat lainnya. Apalagi kasus yang sama sudah terjadi beberapa kali di Kabupaten Tasikmalaya. Bahkan, sebelumnya KPAI sempat menerima laporan dengan kasus yang sama yakni pernikahan atau perjodohan anak.
Dia menduga, di Kabupaten Tasikmalaya masih ada beberapa daerah yang masih memegang tradisi orang tua menjodohkan anaknya. Bahkan, komitmen perjodohan anak dilakukan sejak anak masih berusia dini dan baru dinikahkan disaat anak sudah dewasa.
“Memang tidak ada aturan yang mengharuskan atau melarang perjodohan sejak dini oleh orang tua selama tidak melanggar aturan. Namun yang diperhatikan KPAI adalah pemenuhan hak anak,” kata Ato.
Menurutnya, pernikahan melalui perjodohan sudah terjadi sejak dahulu, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW pun pernah terjadi. Dimana, Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah SAW. Setelah baligh, barulah Ummul Mukminin Aisyah tinggal bersama Rasulullah.
Diduga, masih adanya yang memegang tradisi perjodohan anaknya dengan seseorang, dengan keiinginan orang tua dan menurut mereka cocok. Padahal, pilihan terbaik orang tua belum tentu tepat menurut anak.
Artinya, boleh-boleh saja orang tua menjodohkan anaknya dengan orang yang diinginkan, tapi hendaknya tetap harus meminta izin dan persetujuan dari anak, agar pernikahan yang dilaksanakan nantinya berjalan atas keridhoan masing-masing, bukan keterpaksaan.
“Saya tidak bermaksud masuk dalam kearifan lokal yang masih dipegang dan turun temurun di masyarakat. KPAID hanya memperhatikan terkait hak-hak anak bisa terpenuhi,” tuturnya.
Dikatakan Ato, disaat orang tua akan menikahkan, sebaiknya berkomunikasi dulu dengan anak khususnya dalam kesiapannya. Orang tua harus mengetahui psikologis anak yang akan dinikahkan, jangan sampai akhirnya akan timbul persoalan karena belum siapnya pernikahan.
Pihaknya sangat berharap sekali, kasus yang sama terus terulang di masyarakat. Pemerintah juga harus turun tangan memberikan pengertian kepada masyarakat dengan tidak mengurangi tradisi tetapi hak-hak anak harus terpenuhi. Tentunya komunikasi diperlukan apalagi hal ini menyangkut masa depan dan hak anak.
Jangan sampai tradisi yang ada di masyarakat, justru melanggar hak anak, paling tidak hak itu meliputi hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak-hak lainnya dengan harapan ke depan meningkatkan kualitas hidup dan kualitas SDM, ungkapnya. (Ema Rohima)***