CISAYONG, (KAPOL).-Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Kabupaten Tasikmalaya, mencatat pengaduan terkait angka kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) cukup tinggi selama bulan Januari 2019. Bahkan pengaduan ABH kali ini menduduki angka tertinggi selama KPAID Kabupaten Tasikmalaya terbentuk.
Di mana kasus ABH pada bulan Januari 2019 ini tercatat mencapai 18 kasus. Angka ini naik 100 persen lebih jika dibandingkan tahun 2018 atau tahun-tahun sebelumnya.
“Kasus anak Indonesia di Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Januari 2019 ini naik dratis. Dari catatan di KPAID Kabupaten Tasikmalaya kenaikannya mencapai 100 persen lebih dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya, Ato Rinanto kepada “KAPOL” Kamis (14/2/2019).
Menurutnya, dari sejumlah catatan kasus tersebut diantaranya tercatat 95 persen sebagai korban dan sisanya sebagai pelaku. Namun dari semua kasus itu yang berlanjut pada proses hukum baik di wilayah hukum Polres Tasikmalaya Kota maupun Kabupaten sebanyak 10 kasus.
Dari semua kasus ini ada berbagai macam faktor penyebab ABH. Salah satunya adalab kurangnya kasih sayang orang tua terhadap anak, sehingga pengawasan lemah.
Intinya, soal bagaimana orang tua mendidik mengasuh anak di rumah. Anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga mencari pemuasan psikologis di luar rumah.
Selain itu, Ato juga menjelaskan bahwa lingkungan sosial juga mempengaruhi perilaku anak. Seorang anak bisa menjadi pelaku kriminal untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebayanya.
“Faktor-faktor penyebab ABH dengan lebih sistematis. Di antaranya adalah faktor kesempatan, lingkungan, dan ekonomi,” tuturnya.
Dikatakan dia, untuk meminimalisir persoalan yang melibatkan anak, diharapkan ada upaya guna meningkatkan kesadaran masyarakat. Karena hingga saat ini, kesadaran masyarakat baik itu orangtua maupun lingkungan masih rendah. Selain itu, belum adanya kesungguhan dari pemerintah dalam menangani kasus-kasus tersebut.
Meski demikian pemerintah daerah sudah ada upaya dalam mendukung anggaran, walaupun tidak berkelanjutan. Padahal butuh banyak dalam menyampaikan pola sosialisasi terkait anak. Karena selama ini sosialisasi lebih bersifat soliter dan kurang mengerti dengan nilai-nilai sosialyang berkembang di tengah masyarakat.
Contohnya, jika dipandang dari kacamata pendidikan, anak-anak belum membutuhkan smartphone dalam proses perkembangan mereka. Artinya, smartphone tidak menjadi sebuah kebutuhan urgen untuk membuat anak menjadi lebih pintar.
Justru sebaliknya, banyak nilai-nilai dalam tataran sosial yang perlahan-lahan mulai pudar padahal nilai-nilai tersebut yang dibutuhkan bagi kematangan hidup anak di masa depan.
“Sayangnya kondisi ini tidak dipahami sepenuhnya oleh orangtua, secara sengaja atau tidak telah muncul pemahaman atau stereotip yang salah untuk memperkenalkan gadget sejak dini sebagai media untuk mendidik dan mengasuh anak,” ungkapnya. (Ema Rohima)***