Lembur Sindangraja, Parigi dan Kebataraan Galunggung

KAB. TASIK343 views

LEUWISARI, (KAPOL).-Setiap daerah memiliki cerita, kisah maupun mitologi sendiri yang turun-tumurun dari nenek moyangnya masing-masing. Seperti sebuah nama daerah atau orang sunda menyebutnya lembur di sekitar kaki Gunung Galunggung, atau tepatnya di sekitar Geger Hanjuang, sebuah kebataraan dan konon cikal bakal Tasikmalaya saat ini.

Salah seorang pemerhati sejarah Geger Hanjuang, Dede Farid Sidik menuturkan, penamaan lembur di dua desa yakni Linggawangi dan Linggamulya Kec. Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya sangat erat kaitannya dengan sebuah Kebataraan Galunggung. Sebut saja kata Dede nama daerah Bolodog, Kalieum, Sindangraja, Dago, Parigi dan blok sawah Rumantak.

“Ya, kata orang tua dulu, semua nama daerah itu sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galunggung saat itu. Di mana saat itu saat kerajaan, mereka saling berkunjung satu sama lain. Dan kampung-kampung itu adalah daerah di mana saat kerajaan lain yang bertamu ke kerajaan Galunggung,”ucapnya.

Kampung Rawa Kalieung yang berada di Desa Linggawangi ucapnya, berawal dari kalimat angkleung-angkleung atau diiring-iring. Karena saat pasukan kerajaan lain yang akan bertamu ke Kerajaan Galunggung diangkleung-angkleung oleh penduduk setempat sebagai upaya penyambutan. Lama-lama kalimat angkleung menjadi Kalieung.

Setelah upacara penyambutan atau angkleung itu, raja yang hendak bertamu ke Raja Galunggung diistirahatkan terlebih dahulu di satu tempat sebelum masuk ke kerajaan dan menunggu penyambutan cara kraton. Dan tempat tersebut sampai kini dinamakan Sindangraja.

Setelah itu, Raja ucap Dede mulai berangkat ke tempat pusat pemerintahan/kraton yang dinamakan Rumantak, dan Rumantak sampai saat ini tak berubah tetap bernama blok persawahan Rumantak, tempat ditemukannya prasasti Batu Angon dan Batu Garu.

Namun pasukannya tak diperbolehkan masuk, tetapi harus menunggu di suatu lapangan pandagoan. Sambil menunggu rajanya bertamu ke Raja Galunggung, pasukan pengiring ada yang bercengkrama dengan penduduk ada pula yang berlatih kemahiran atau adu dogol. Lama-lama daerah itu hingga kini bernama Situ Jogol di Kampung Dago Desa Linggamulya.

“Nah nama Parigi, itu artinya parit atau sungai kecil yang mengelilingi kerajaan di Rumantak. Parit yang mengelilingi itu berfungsi sebagai pertahanan jika ada serangan dari kerajaan lain. Dan sampai saat ini di Parigi ada dua sungai kecil yakni Ciompo dan Cisela. Dua sungai itu mengelilingi blok sawah Rumantak saat ini,”ucap Dede yang mengaku asli keturunan Galunggung dari turun temurun.

Dari kisah tersebut ucap Dede yang betul-betul menguasai sejarah kesundaan, tak lepas dari prasasti Geger Hanjuang, disaat masa kebatarian Hyang Batari Jana Pati. Sebenarnya ucap dia masih banyak kisah-kisah kebataraan Galunggung yang belum diketahui masyarakat luas yang nyaris hilang ditelan zaman. Beruntung ada pihak-pihak yang betul-betul konsen terhadap sejarah ini, salah satunya mahasiswa arkeologi UGM yang membuat penelitian tentang Geger Hanjuang.

“Nama mahasiswa itu Tira. Ia melakukan penelitian sekaligus mencari bukti-bukti konkret antara ucapan sesepuh, cerita rakyat dengan ilmiah akademik. Hasilnya, Tira bisa membuktikan kebenaran antara cerita rakyat tentang Geger Hanjuang dengan ilmu pengetahuan ilmiah. Dan hasilnya itu katanya kepada saya mendapat apresiasi dari dosennya bergelar profesor. Saya bangga, ada akademisi yang meneliti secara ilmiah tentang Gegerhanjuang,”ucapnya.

Sehingga ia menjadi sangat meyakini kebenaran amanat atau wasiat Galunggung tentang saat ini dan masa lampau.

“Ternyata wasiat Galunggung tentang Hana nguni hana mangke, Tan hana nguni tan hana mangke. Hana tunggak hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna betul adanya. Insya Allah saya akan terus melestarikan sejarah ini sebagai kewajiban saya sebagai asli Galunggung,”ucapnya.(Teguh Arifianto)***