PARUNGPONTENG, (KAPOL).- Abdul Muis. Nama yang tak asing ditelinga aktivis Tasikmalaya. Nama mantan Ketua PC PMII Tasikmalaya (dulu belum dipisah menjadi Kota dan Kabupaten Tasikmalaya) mencuat pasca tragedi kelam Tasikmalaya tahun 1996.
Muis menjadi salah satu orang yang dituding menjadi dalang dari kerusuhan Tasikmalaya 1996. Muis akhirnya diadili di Pengadilan Negeri Tasikmalaya dan divonis bersalah. Alhasil Muis pun harus merasakan dinginnya ruangan jeruji besi.
Selepas bebas dari penjara, pasca-rezim Orde Baru tumbang tepatnya, Muis memilih terjun di dunia politik. Kedekatannya dengan Gus Dur mendorong Muis untuk memilih PKB sebagai pelabuhan karir politiknya.
Tak disangka karir Muis di dunia politik itu pun langsung melejit. Namanya tercatat sebagai Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat pada Pemilu 2004. Muis tumbuh jadi salah satu kader terbaik Nahdlatul Ulama Tasikmalaya di zamannya.
Namun sayang, dinamika yang terjadi ditubuh PKB dan beralihnya tampu kepemimpinan partai dari KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ke Ketua Umum DPP PKB hari ini, Muhaimin Iskandar membuat Muis memilih hengkang dari partai yang pernah membesarkannya.
Usai itu Muis memilih Partai Gerindra sebagai pelabuhan politik barunya. Di pemilu tahun 2014 lalu namanya tercatat sebagai Calon Anggota DPR RI dari Dapil Kota/Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut.
Namun sayang, beberapa hari menjelang pencoblosan, Muis dipanggil menghadap kepangkuan Yang Maha Kuasa. Tokoh Exponen Tasikmalaya 1996 itu meninggal dunia di Kota Jombang usai berziarah ke makam Guru Bangsa, Gus Dur.
Tangis haru pun pecah. Tidak ada yang menyangka sosok muda nan gagah itu lebih dulu meninggalkan dunia yang fana. Para sahabat, kolega dan kerabat harus rela melepas salah satu putra terbaik Tasikmalaya menghadap kepangkuan Ilahi. Abdul Muis dimakamkan di kampung halamannya di Singkup, Desa Barumekar, Kecamatan Parungponteng, Kabupaten Tasikmalaya.
“Tidak ada yang diwariskan Kang Muis selain pemikiran, kenangan dan sekolah ini,” kata Adik Kandung Abdul Muis, Solehudin Hanapi sembari menunjukkan bangunan sekolah SMK Bina Bangsa dan SMP Terpadu Cahaya Anak Bangsa, Kamis (11/1/2018).
Ke dua sekolah itu, kata Oleh –panggilan akrab Solehudin Hanapi, berdiri di bawah naungan Yayasan Cahaya Anak Bangsa yang digagas oleh almarhum Abdul Muis. Yayasan itu, kata Oleh, didirikan sembilan tahun yang lalu.
“Awalnya hanya SMP saja. SMP Terpadu Cahaya Anak Bangsa. Baru tahun 2011 membuka jenjang pendidikan SMK Bina Bangsa,” tutur Oleh yang sejak berdirinya Yayasan didaulat menjadi Ketua Yayasan Cahaya Anak Bangsa.
Meski berada di daerah terpencil dengan akses jalan yang masih rusak parah, lanjut Oleh, tidak membuat ke dua sekolah itu sepi peminat. Sejak pertama berdiri, kini jumlah siswanya pun sudah mencapai ratusan siswa baik di SMP maupun SMK.
“Dahaga masyarakat untuk meneguk ilmu pendidikan masih tinggi. Terlebih posisinya memang jauh dari perkotaan. Alhamdulillah jadi salah satu alternatif pendidikan bagi masyarakat di sini,” kata Oleh.
Oleh menambahkan apa yang ditinggalkan kakak kandungnya itu merupakan warisan paling berharga dibanding apapun. Alhasil, kata Oleh, ia dan saudaranya yang lain dibantu pengurus Yayasan Cahaya Anak Bangsa bahu membahu menghidupkan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan itu.
“Gedung bagian depan SMK ini sengaja diberi nama Gedung Abdul Muis sebagai bukti bahwa sampai hari ini, lewat lembaga pendidikan ini Abdul Muis masih hidup,” kata Oleh dengan nada haru.
Ya. Seperti kata pepatah Macan Mati Meninggalkan Belang. Gajah Mati Meninggalkan Gading. Dan nama Abdul Muis wafat meninggalkan kebaikan dalam bentuk lembaga pendidikan. Selamat Jalan. Damai di pangkuan Tuhan. (Imam Mudofar)***