Marwah Petani Seharusnya Menjadi Posisi Tawar

EKBIS31 views

image

CIPEDES, (KAPOL).-
Kondisi usaha tani saat ini terlalu tergantung pada sarana produksi seperti pupuk dan pestisida manufaktur. Demikian dikatakan pengamat sekaligus Dosen Fakultas Pertanian dari Univesitas Siliwangi Supriyanto.

“Celakanya itu semua impor yang otomatis dari segi harga akan tinggi, implikasi produk pabrikan itu juga akhirnya ketika petani panen ya uangnya mengalir cepat ke kota. Tidak ada perputaran uang di desa, karena sarana produksi tadi harus terus berjalan,” paparnya dalam Diskusi Terfokus yang digelar HU Kabar Priangan, Kamis (14/4/2016).

Untuk itu, perlunya disiapkan sarana produksi yang potensi di desa, agar hasil keringat petani bisa memutar bahkan mengendap lama di desa. Tak heran, menurut dia, akhirnya usaha tani dinilai hanya sebatas sambilan semata. Lantaran sejauh ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mencukup dengan bertani.

“Kontribusinya pun kepada PDRB daerah itu sekitar 30 persen saja, padahal orangnya banyak. Itu mengindikasi jika nilai tambah yang diperoleh di sektor ini kurang ,” ujar dia.

Dia pun ikut menyoroti jika kapasitas dari hasil usaha tani ini bisa dibilang nanggung. “Untuk dikonsumsi sendiri kebanyakan, tapi dijual pun terlalu sedikit,” tambahnya. Untuk itu, perlu ada langkah konkrit agar mengatasi bargain position sektor pertanian yang lemah, dengan mengakurasikan data juga sinkronisasi dari pihak instansi terkait.

Dedi Sufyadi dari Fakultas Pertanian Unsil juga menilai pembangunan di suatu negara, mestilah berangkat dari agraria. Dimana tentu kaitannya kehadiran negara dan pemerintah, harus mampu melindungi para petani.

“Jadi ketika membangun petani ya bukan pada teknologinya, langkah Presiden dengan ekonomi kerakyatan kemarin terkait sertifikat tanah salah satu inisiasi positif, sebab bisa menggeliatkan kinerja petani karena setidaknya ada satu kepastian bagi mereka,” imbuh Dedi.

Dia pun dalam diskusi siang itu, menyoroti jika hari ini profesi petani dianggap sebelah mata bahkan konyol. Sehingga banyak ditinggalkan sebagai sumber mata pencaharian utama. “Saya tidak sependapat, profesi petani itu tetap dan akan terus mulia,” pungkasnya.

Talim pun menambahkan, jika perlu dibangunnya rasa kebanggaan di profesi petani saat ini. “Kami pernah mengusulkan untuk penerima bantuan program pemerintah itu dilihat KTP-nya, dan statusnya harus ditulis petani. Kalau bukan ya tidak bisa. Karena untuk menyelamatkan nasib petani kini ya harus bangga sama profesinya,” ujar dia.

Ditambahkan Ai, tokoh petani muda dari Parigi, jika setidaknya dalam 10 tahun terakhir ada 500 ribu petani yang hilang dan beralih profesi, termasuk di Tasikmalaya. “Kalau sudah begitu, ada dua pilihan, jangan sekolah, karena semakin tinggi makin juga tidak akan mau jadi petani, atau di sekolah dimasukkan kurikulum pertanian,” sarannya. (Astri Puspitasari)***