Menengok Potensi Industri Kreatif Sub Sektor Film

EKBIS13 views

TASIKMALAYA, (KAPOL).-

Pemerintah telah memetakan pengembangan industri kreatif ke dalam 16 sub sektor. Satu diantaranya, sub sektor film, yang meskipun menggiurkan– sejauh ini masih belum banyak dilirik untuk digeliatkan.

Diakui salah satu pelaku industri kreatif di sektor ini, Muhammad Aditya dalam dua dekade teakhir, industri perfilman lokal mengalami perkembangan yang cukup baik, sekalipun belum menggembirakan.

“Di Indonesia itu, pasar untuk sektor film terus terbuka lebar. Atensi masyarakat dalam mengapresiasi khususnya film lokal juga cukup baik, sayang memang kendala utama ada pada distribusi film itu sendiri yang sangat terbatas,” ujarnya dijumpai di sela pemutaran perdana Film Cakrabuana di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya, Selasa (15/11/2016) kemarin.

Pria yang juga co-produser film tersebut, menyebutkan di Indonesia setidaknya ada kurang lebih 255 juta jiwa penduduk yang tersebar di 416-an kota/kabupaten. Jumlah tersebut pun dinilai tak berbanding lurus dengan total layar bioskop yang hanya 1100-an di 36 kota/kabupaten. Sementara film tergolong sukses di Indonesia ketika menembus di angka 6,5 juta.

“Artinya dari sana, ada 380 kota/kabupaten yang belum punya bioskop dan sekitar 249 juta penduduk belum terjangkau bioskop. Sementara dilihat dari yang ada sekarang saja, tiga puluh persennya di Jakarta,” kata Adit.

Padahal, sektor film, kembali ditegaskan Adit, memiliki potensi yang prospektif untuk diberi perhatian serius. Terlebih, berbeda dengan sektor lainnya, film bahkan mampu menciptakan bahkan menggerakan market-nya sendiri.

“Banyak yang menilai, film hanya sebatas tiket yang laku terjual. Sepenuhnya ini salah. Karena film itu punya multiplier effect, seperti Belitung yang jadi destinasi wisata tersohor sejak dijadikan syuting film, contoh konkritnya,” tambah penggiat film ini.

Bahkan, Adit melanjutkan, negara Korea yang tak memiliki satupun sumber daya alam, bisa berkembang pesat beberapa tahun belakangan hanya karena industri filmnya yang mendunia. “Dan sekarang industri kreatif film di sana jadi penopang ekonomi, yang akhirnya menggerakan sektor fesyen, kuliner, pariwisata juga. Sejauh itu memang efeknya ketika ini digarap maksimal,” tegasnya.

Tasikmalaya, dinilai Adit, tak hanya dapat dieksplorasi dari industri kreatif berbentuk produk saja. Dari lanskap alam dan kultur masyarakat yang dibingkai melalui film, pun memiliki daya tariknya tersendiri. “Kalau misal kita lihat ada tugu di perempatan, kita otomatis ingat itu sebagai Yogyakarta. Begitu juga gapura-gapura yang identik dengan Bali, sedangkan Tasik ini banyak dinilai masih belum ada sesuatu yang khas ketika diambil gambar. Padahal sawah yang lenggang ditambah sisa bukti dari sebutan seribu bukit itu, sesuatu yang cukup diangkat untuk branding kota,” ungkap dia.

Pihaknya mengharapkan ke depan, Tasikmalaya juga seperti Bandung, Bali, Yogyakarta, yang menjadi primadi lokasi film itu digarap. “Imbasnya dari sana, semua sektor terkait akan terangkat, dari tumbuh penyewaan alat, penyewaan mobil, catering, hotel, wisata, seluruhnya tersentuh. Yang untuk ke arah sana, kita perlu dukungan semua pihak khususnya warga sekitar,” tambahnya.

Melalui Bioskop Indie Tasik (BIT), Adit ingin mengakomodir potensi sineas lokal juga masyarakat yang belum tersentuh bioskop. “Agar semuanya bisa punya kesempatan mencicipi film khususnya lokal punya, secara legal. Makanya kita akan ada juga komunikasi dengan pihak PH, tidak asal tayang begitu saja,” tegasnya.

Setiap pemutaran film yang bersifat jemput bola, Adit dan kawan-kawan akan mengambil satu produksi film anak daerah untuk ikut ditayangkan. Hal ini dipercaya akan menstimulus karya berkelanjutan. Film Cakrabuana yang berdurasi 75 menit misalnya, rencananya ditargetkan bisa dinikmati di Jawa Barat dan Banten. Mulai Selasa hingga Kamis esok, film yang 90 persennya diproduksi di Tasikmalaya dapat dinikmati di GKKT mulai pukul 13.00, 15.30, dan 19.00 dengan harga tiket dipatok 10 ribu rupiah. (Astri Puspitasari)***