TASIKMALAYA, (KAPOL).-Besarnya bantuan dana program keluarga harapan (PKH) setiap waktu pencairan tak membuat pasangan Evi Sopyan (46) dan Teti Ruhayati (38) harus selalu dibantu pemerintah.
Warga RT 03/03 Kelurahan Urug Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya ini membulatkan tekad untuk bisa mandiri. Meski tak ada tekanan dari pihak manapun, keluarga kecil itu yakin bahwa rezeki tak tertukar.
“Sekali pencairan lumayan sekitar Rp 1,2 juta. Karena ada slot bantuan untuk anak empat orang. Banyak yang mengatakan, sayang jangan mundur. Tapi ini keyakinan hati, saya sekarang berbeda dengan enam tahun yang lalu. Masih banyak yang lain belum mendapatkan bantuan,” ujar Yeti di hadapan Pendamping PKH, di kediamannya, tengah pekan ini.
Tahun 2013, keluarga tersebut memang layak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sang kepala keluarga hanya bekerja musiman menjahit. Sementara Yeti seorang ibu rumah tangga yang mengurus empat orang anak mulai dari usia belasan tahun hingga terkecil tiga tahun. Seiring berjalannya waktu, kemauannya untuk merubah nasib lebih baik mulai terwujud.
“Sekarang saya sudah bisa membantu merias di acara kawinan atau sunatan sudah dua tahun ini. Suami juga bisa usaha sendiri, banyak order jahitan langsung ke rumah. Kalau dulu hanya mengandalkan order dari butik untuk jas koko pada musim tertentu. Sedangkan kebutuhan harus dipenuhi setiap hari,” katanya.
Ia mengaku sangat terbantu untuk sekolah anak ketika mendapatkan bantuan. Namun akhir-akhir ini, penghasilan dan kondisi perekonomian keluarga sudah membaik. “Dulu ketika ada bantuan sangat terbantu untuk membeli peralatan sekolah anak. Sekarang Alhamdulillah sudah banyak kemajuan, Insya Allah rezeki mah tidak akan tertukar walaupun tidak mendapatkan bantuan,” ujarnya menjelaskan.
Koordinator PKH Kota Tasikmalaya, Toni Atoillah mengatakan keluarga Yeti merupakan satu dari 78 keluarga yang mengajukan graduasi. Kondisi dimana keluarga mundur untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah karena perekonomiannya sudah lebih baik dari sebelumnya. “Ibaratkan graduasi itu lulus dari kondisi pra sejahtera,” ujarnya berseloroh.
Jumlah tersebut memang masih minim dari total keseluruhan sekitar 35 ribu keluarga penerima manfaat. Namun bukan berarti keluarga seperti Yeti dan Evi tersebut tidak ada. “Sebenarnya ada yang sudah tergolong mampu tapi enggan graduasi. Malah ketika dikomunikasikan balik mengancam karena khawatir tidak akan mendapatkan bantuan lagi,” katanya.
“Makanya kita terus lakukan pendampingan bagimana mengubah pola manajemen keuangan keluarga seperti orang tua dahulu. Meskipun penghasilan pas-pasan tapi selalu bisa menabung. Jadi bantuan tersebut bisa benar-benar bermanfaat, tidak sekali habis setelah pencairan,” ujarnya menjelaskan.
Rasa malu dan sadar akan kondisi diri memang saat ini menjadi sebuah barang yang mahal. Terlebih masih ada warga yang membutuhkan dan belum terakomodir bantuan. “Makanya para keluarga yang mengikuti graduasi itu sangat diacungi jempol. Mereka sadar dengan potensi mereka, dan melihat banyak yang lebih layak mendapatkan bantuan,” katanya.
“Meskipun mereka graduasi, slot yang kosong itu harus diajukan secara formal dan bisa dimanfaatkan keluarga lain yang membutuhkan. Apalagi jika melihat basis data terpadu dari Pemkot Tasikmalaya, masih ada 35 ribuan keluarga yang rentan terhadap kemiskinan dan belum diintervensi bantuan pemerintah,” ujarnya menambahkan. (Inu Bukhari)***