Pemkab Tasikmalaya Canangkan Perluasan Budidaya Pohon Aren

BIROKRASI123 views

image

SINGAPARNA, (KAPOL).-

Hasil hutan selain kayu, yang lebih dikenal dengan sebutan HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu), selalu menduduki peran penting dan besar dalam ekonomi kehutanan di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tidak lepas dari banyaknya jenis HHBK yang dapat diperoleh dari hutan, baik yang berasal dari tumbuhan (HHBK Nabati) maupun dari hewan (HHBK Hayati). Pemanfaatan HHBK pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, energi, dan obat-obatan, serta pemanfaatan lainnya (jasa lingkungan).

Produk HHBK telah menjadi pemasukan sekaligus pendapatan langsung bagi pemenuhan kebutuhan banyak rumah tangga dan masyarakat di seluruh dunia. Di banyak negara, total nilai ekonomi dari HHBK diperkirakan mampu memberi sumbangan terhadap pemasukan negara yang sama besar, bahkan mungkin lebih, daripada yang dapat diperoleh dari kayu bulat. Di Indonesia sendiri, nilai ekonomi HHBK diperkirakan mencapai 90 % dari total nilai ekonomi yang dapat dihasilkan dari ekosistem hutan sesuai dengan Permenhut No. P.21/Menhut-II/2009.

Sejalan dengan itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia telah menetapkan pengembangan produk HHBK unggulan antara lain bambu, gaharu, sutera, madu, aren serta rotan.

Pohon Aren ini sangat bermanfaat untuk kehidupan mahluk lain, khususnya manusia. Betapa tidak, hampir seluruh bagian pohon ini dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk yang mempunyai nilai jual dan bernilai ekonomi.

“Mulai dari bagian akar, batang, ijuk, buah, daun, dan juga bunganya, yaitu antara lain gula aren, gula semut, kolang kaling, sapu ijuk, sapu lidi aren dan barang kerajinan dari lidi aren, ijuk, perabotan dapur dari Pohon Aren, serta bioethanol,” ujar Sekda Kabupaten Tasikmalaya, Drs. H. Abdul Kodir yang juga Ketua Asosiasi Aren Jawa Barat.

Tidak hanya itu, lanjut Kodir, peran tanaman aren terhadap kelestarian lingkungan hidup cukup besar Sebagai tanaman konservasi yang sangat efektif dalam penanggulangan degradasi lahan dan reboisasi, aren dapat tumbuh dengan baik pada berbagai ekosistem. Aren toleran pada pertanaman campuran, aren memiliki perakaran dan tajuk yang lebat, tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif, sehingga cocok digunakan pada lahan marginal.

“Jawa Barat merupakan daerah persebaran aren terluas di Pulau Jawa sekitar 13.878 Hektar. Kabupaten Tasikmalaya memiliki kondisi geografis yang sangat mendukung terhadap pertumbuhan tanaman aren, sehingga merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi aren cukup besar di Jawa Barat,” kata Kodir.

Pengembangannya semakin pesat sejalan dengan program pengelolaan Hutan Lestari di lahan hutan rakyat yang tergabung dalam Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) tersebar beberapa kecamatan, terutama di 3 (tiga) kecamatan dengan jumlah petani sebanyak 1.800 orang, yaitu Kecamatan Bantar Kalong (7 desa, 300 orang petani), Kecamatan Bojong Gambir (5 desa, 1.300 petani aren) dan  Kecamatan Pageurageung (2 desa, 200 petani).

“Khusus untuk pengembangan usaha gula aren dilakukan analisa usaha tani dengan lokasi kajian di Kecamatan Bojong Gambir. Jika petani mempunyai 1 (satu) Hektar dengan populasi aren sebanyak 277 pohon yang dikelola secara intensif akan menghasilkan 2.656 liter nira/hari equivalen dengan 369 kg gula gandu, dengan demikian petani diperhitungkan akan mendapat pendapatan kotor sebesar Rp. 4.797.000/hari (harga gula gandu Rp.13.000/kg). Apabila dikumulatifkan dalam setahun, petani aren hutan akan mendapat pendapatan kotor sekitar Rp. 1.726.920.000,- (angka ini belum dikurangi biaya produksi),” beber Kodir.

Kaitan dengan besarnya nilai ekonomi gula aren tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dan stakeholder terkait lainnya telah merancang beberapa kegiatan strategis pengembangan agroforestry aren hutan yang akan mempunyai manfaat terhadap pembangunan wilayah, peningkatan kesejahteraan petani, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Pertama, kata Kodir, rekayasa  Agrofestry Aren Hutan Galunggung dengan keberhasilan produktivitas nira sekitar 84 liter/pohon/hari (di atas aren unggul nasional dari Provinsi Sulawesi Utara sekitar 40 liter/pohon/hari).

Ke dua, rekayasa Industri Hasil Hutan Gula Semut dan Gula Syrup Arenga Pinnata Galunggung dengan teknologi membran reverse osmosis dan teknologi vacuum evaporator double effect berstandar dan bersertifikat Indikasi Geografis Internasional, dimana proses produksi lebih efisien hemat energi, ramah lingkungan, serta kualitas produk bermutu tinggi.

Ke tiga, rekayasa kelembagaan melalui pembentukan Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Aren Hutan Galunggung, Gabungan Koperasi Aren Hutan Jawa Barat, serta Gabungan Koperasi Aren Hutan Jawa Barat, sehingga kelembagaan diakui baik ditingkat nasional maupun internasional.

Ke empat, pengembangan Agrofestry Keunggulan Komparatif Indikasi Geografis Aren Hutan di Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis dan Garut seluas 15.000 Hektar, sehingga terbentuk hamparan aren hutan yang lestari terintegrasi dengan kegiatan industri dan pemasaran.

Terakhir, pergeseran pola konsumsi dari gula pasir tebu ke gula pasir aren yang akan mengurangi beban lahan untuk pangan dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

Sebagai tahap awal, telah dilakukan identifikasi potensi aren hutan di Kabupaten Tasikmalaya, pembentukan kelembagaan Forum Komunikasi Aren Hutan Galunggung Provinsi Jawa Barat, pembentukan kelembagaan Masyatakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Aren Hutan Galunggung yang keanggotaannya terdiri dari unsur petani, pemerintah, perguruan tinggi serta swasta), serta sayembara pembuatan logo branded Produk “Aren Hutan Galunggung”.

“Untuk pelindungan produk-produk olahan yang akan dihasilkan dari duplikasi atau pemalsuan pihak lain, saat ini sedang disusun Buku Indikasi Geografis Aren Hutan Galunggung sebagai salah satu syarat pengajuan sertifikasi Indikasi Geografis (IG) ke Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tentang Indikasi Geografis,” ujar Kodir. (Imam Mudofar/Humas Kab. Tasikmalaya/ADV)