Pesan Damai Dari Tasikmalaya Untuk Kesaktian Pancasila

SOSIAL21 views

TASIKMALAYA, (KAPOL).-1 Oktober merupakan hari bersejarah bagi negeri Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara mendapatkan ujian berharga, dan hari tersebut dinobatkan sebagai hari kesaktian pancasila. Akhir-akhir ini, ujian datang kembali. Setelah lama ‘terbang’ sejak era reformasi, langkah penyelamatan perlu dilakukan semua elemen tak terkecuali pemerintah. 

“Mengapa hari ini kurang membumi? seiring perkembangan, banyak hal-hal yang membuat pancasila yang ada di dada garuda sebagai lambang negara terbang sejak era reformasi,” ujar KH. Aminudin Bustomi salah seorang peserta Diskusi Pesan Damai dari Tasikmalaya, Merajut Kebangsaan Memperkuat NKRI dan Pancasila yang digelar di Ruang Rapat HU Kabar Priangan, Rabu (27/9/2017). 

Pengasuh Pondok Pesantren Sulalatul Huda Tasikmalaya ini mengatakan, salah satu indikatornya kurikulum sekolah mulai bergeser. Pendidikan pancasila tidak lagi dianggap penting di setiap sekolah. “Dulu pada sebuah pertemuan pernah disampaikan masukan Pancasila menjadi bahan Ujian Nasional. Sekarang itu hanya sebagai pelengkap mata pelajaran saja,” katanya. 

Di lain pihak Kepala Kantor Kesatuan Kebangsaan dan Politik Kota Tasikmalaya, Deni Diyana mengatakan, ketika pancasila itu masuk sebagai sendi-sendi kehidupan masyarakat otomatis jauh dari kegaduhan yang berlangsung akhir-akhir ini. Dari kelima sila yang ada, kuncinya berada pada sila pertama. 

“Kalau prinsip ketuhanan yang maha esa yang digambarkan sebagai taat beragama, Insya Allah dalam menjalankan sisa empat sila tidak akan sulit. Tidak ada satu agamapun yang memerintahkan untuk menyakiti atau melakukan perbuatan-perbuatan negatif lainnya. Semua memberikan pesan perdamaian,” ujarnya. 
Terbang Menjauh

Perwakilan Majelis Mujahidin Tasikmalaya, Ustad Iri Syamsuri mengatakan, ada upaya pihak-pihak tertentu yang menginginkan pancasila ini terus terbang menjauh. Sebab yang mengaku pancasilais pun malah bertindak bertentangan dengan dasar negara yang dirumuskan para pendiri negara dengan nuansa religius. 

“Jadi jangan berbicara saya pancasila, tapi kehidupan dan perilakunya tidak pancasilais. Ini seperti maling teriak maling,” katanya. 

Salah seorang peserta lainnya, Ustad Deden Wawan mengatakan, krisis rohani yang muncul dan semakin mencuat sebenarnya menjadi salah satu penyebab kegaduhan di Indonesia. Oleh karena itu di masa depan, jangan ada pewarisan sifat negatif dengan memulai pendidikan berkarakter yang benar-benar untuk generasi penerus. 

Sementara itu penggiat komunitas Cinta Buku, Cinta Baca dan Diskusi, Cepi mengatakan perlu membumikan kembali pancasila tak sekadar ornamen di dinding setiap fasilitas pendidikan dan pemerintah. “Bagaimana caranya bisa mengikuti perkembangan zaman dan kontekstualnya,” ujarnya.
Persoalan Pendidikan

Pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Tasikmalaya, Ikbal Jamaludin sepakat. Ada persoalan di dalam dunia pendidikan bahwa belajar itu supaya bisa bekerja. Padahal tujuan pendidikan tidak sesempit itu. “Pendidikan agama di sekolah mulai tersisihkan. Pola pikir hari ini bagaimana pelajar ataupun mahasiswa setelah sekolah itu langsung mencari kerja,” ujarnya. 

“Padahal dunia pendidikan seharusnya memberikan pembelajaran berbagai hal. Karena hanya memikirkan untuk diri sendiri dengan bekerja, terkadang lupa untuk melihat di sekeliling dan munculah sikap kepedulian,” katanya yang juga aktif di Sekolahpintar.id.   

Aam Abdul Salam dari Forum Kajian Sosial Budaya Bungawarie mengatakan, industri pendidikan kali ini bukan melahirkan seseorang yang berkarakter. Namun lebih berat pada industri pendidikan yang membuat ruh pendidikan itu hilang.

 “Tasik bisa menjadi inspirator dengan pesan damai ini, bahwa haru biru dinamika situasi harus disikapi secara wajar. Tidak melakukan tindakan reaksioner yang berlebihan, namun bisa menggugah pemikiran semua pihak ke jalan yang semestinya,” katanya. (Inu Bukhari)***