SUMEDANG, (KAPOL).- Sejumlah aparatur desa di wilayah Kabupaten Sumedang, kini mengeluhkan soal rencana Festival Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) dan Peduli 1.000 Anak Yatim Tidak Mampu yang akan diaelenggarakan Pemkab Sumedang.
Pasalnya, sesuai Surat Edaran Bupati Sumedang tentang Festival Rutilahu dan Peduli 1.000 Anak Yatim tidak Mampu tersebut, semua aparatur Pemkab termasuk aparatur desa, harus ikut berswadaya untuk berkontribusi memberikan bantuan dengan nilai yang telah ditentukan.
Padahal seperti diketahui, penghasilan tetap yang diperoleh aparatur desa ini masih sangat kecil, jangankan untuk memberikan bantuan kepada orang lain, untuk kebutuhan mereka sehari-hari pun sebenarnya masih jauh dari kata cukup.
Seperti diungkapkan Kepala Desa Mekarjaya Kecamatan Sumedang Utara, Dudung Suryana.
“Belum lama ini kami menerima surat edaran dari Bupati Sumedang. Inti surat itu, kami bersama apararur desa harus berswadaya memberikan bantuan untuk mendanai rutilahu dan bantuan anak yatim. Hal ini tentunya telah dibahas pula dalam minggon kecamatan,” katanya.
Namun setelah adanya surat edaran tersebut, kini aparatur di desanya justru malah mengeluh, dalam kata lain mereka keberatan kalau harus memberikan bantuan dengan nilai yang telah ditentukan seperti itu.
Dimana dalam hasil pembahasan minggon kecamatan, semua aparatur desa harus memberikan bantuan dengan rincinan, Kepala desa sebesar Rp 600.000, Sekdes sebesar Rp 300.000, dan Perangkat desa lainnya sebesar Rp 100.000.
Iuran tersebut, kata Dudung, harus sudah terkumpul pada bulan April 2019 mendatang, soalnya program yang diwacanakan Bupati/Wakil Bupati Sumedang tersebut akan direalisasikannya pada bulan April.
Atas dasar itu, Dudung pun kini mempertanyakan terkait rencana festivak tersebut, apakah program itu tidak terlalu memaksakan.
Terlebih, Program Rutilahu itu sendiri sebenarnya sudah berjalan sejak lama, selain sudah digulirkan oleh Pemerintah melalui Dinsos P3A, program rutilahu ini telah lama pula dianggarkan oleh Baznas dan Pemerintah Desa.
“Ari Baznas dikamanakeun? matak naon manfaatkeun we Baznas. Pan salila ieu oge program rutilahu mah geus aya, malah tanpa ayana surat edaran oge pihak desa mah sok mindeng boborot ku kegiatan rutilahu teh,” katanya.
Dijelaskan Dudung, keluhan yang disampaikan aparatur desa ini, kemungkinan bakal dirasakan pula oleh aparatur bawah di lingkup OPD, yang penghasilannya masih dibawah standar minimun.
Sebab, didalam lampiran tersebut dicontohkan rinciannya bahwa satu OPD tersebut minimal harus mengumpulkan bantuan sebesar Rp 20 juta, dengan pembagian untuk Rutilahu sebesar Rp 17,5 juta, dan untuk bantuan anak yatim sebesar Rp 2,5 juta.
“Kalau buat pejabat mungkin tidak akan terlalu terasa. Tapi coba saja bayangkan kalau pegawai yang masih tenaga honorer berpenghasilan dibawah Rp 500.000 per bulan. Saya yakin nilai bantuan tersebut pasti akan sangat memberatkan,” katanya.
Hal yang sama disampaikan pula oleh beberapa kepala desa di Kecamatan Tanjungkerta dan Cisarua. Mereka menilai program tersebut terlalu memaksakan.
“Memang betul kami juga sudah menerima surat edaran tersebut. Tapi sampai sekarang kami belum paham, apakah benar aparatur desa itu harus ikut iuran atau tidak. Bagi kami kepala desa mungkin tidak ada masalah, tapi kalau perangkat kami harus iuran dengan nilai yang telah ditentukan kan kasian. Kalau mau seridonya saja jangan dipatok seperti itu,” kata salah seorang Kades di Kecamatan Tanjungkerta.
Menurut informasi, kini hadir surat kedua kali dari Dinsos kepada para camat dan kades, yang ada tambahan redaksinya, surat tersebut merupakan imbauan dan tak ada unsur paksaan. (Taufik Rochman)***