JATINANGOR, (KAPOL).-Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumedang, dari sektor pajak khusus di Jatinangor, diduga tak terserap nilainya hingga angka Triliunan Rupiah.
Hal itu, akibat tak jelasnya status bangunan atau tempat usaha yang berdiri di atas lahan bekas jalur kereta api di Jatinangor.
Di sana, berdiri tempat usaha berskala kecil, menengah dan besar dan ada di atas lahan bekas jalur kereta api.
Diantaranya di Desa Cipacing, Sayang dan Desa Hegarmanah Kec. Jatinangor yang juga Kec. Sukasari dan Tanjungsari.
Hilangnya PAD tersebut, bisa terukur jika dilihat dari potensi retribusi/pajak beberapa tempat usaha yang berskala besar saja, seperti restoran, Cafe dan sebagainya.
Dibenarkan, Tokoh Pemuda Kec. Jatinangor yang juga Ketua KNPI Jatinangor, Indra Irawadi kepada Kabar Priangan Online (KAPOL), Jumat (19/5/2017).
“PAD tersebut, diduga tak terserap sejak puluhan tahun silam atau sejak dibangunnya tempat usaha berskala besar di atas lahan bekas jalur kereta api itu,” tuturnya.
Idealnya, kata dia, pembangunan tersebut menghasilkan PAD dari sisi IMB, PBB, HO, parkir dan sebagainya.
“Kalkulasikan saja jumlah kewajiban pengusaha untuk membayar retribusi atau pajak, sejak usaha dan bangunan itu berdiri. Ya, masuk akal jika disebutkan PAD dari sektor pajak, dikatakan tak terserap sekira Miliar hingga Triliun-an rupiah,” tuturnya.
Retribusi parkir pun, kata dia, ditenggarai tak masuk ke Pemkab Sumedang termasuk pajak pengunjung restoran serta Cafe.
“Jika Pemkab Sumedang serius, mungkin saja retribusi dan pajaknya bisa terserap, kendati status lahan disana milik PT.KAI,” kata Indra.
“Jika diserap, bukan lumayan lagi jika diukur dengan jumlah tempat usaha di sana, bahkan pemasukan ke kas daerah pun akan jelas,” katanya.
Menanggapi itu, Camat Jatinangor Hj. Idah Khoeriyah melalui Sekcam, Ade Sukma membenarkan jika ada dugaan tak terserapnya PAD, yang secara khusus dari sektor pajak untuk tempat usaha yang berdiri di atas lahan bekas jalur kereta api itu.
“Kami inventarisir terlebih dahulu, berapa jumlah tempat usaha termasuk bangunan rumah yang berdiri di sana,” tuturnya.
Menurut kabar, kata dia, bangunan di sana termasuk tempat usaha itu, sudah berdiri sejak lama atau puluhan tahun silam.
“Saya akan komunikasi dulu dengan Pemkab Sumedang, titik mana saja tempat usaha yang berdiri di lahan bekas jalur perlintasn kereta api itu,” ucapnya.
Namun, kata dia, masuk akal jika pajak izin usaha dan sebagainya tak terserap oleh Pemkab, karena status lahannya pun disebut-sebut milik PT KAI.
“Izin waktu, saya kordinasi terlebih dahulu dengan Pemkab. Jika benar retribusi dan pajak di sana tak terserap, ya masuk akal juga jika ada penafsiran PAD tak terserap sekira triliun-an rupiah,” tuturnya.
Benar, kata dia, seharusnya ada beberapa sektor pendapatan yang masuk ke kas daerah seperti dari IMB, H0, retribusi parkir, pajak pengunjung restoran dan sebagainya.
“Kita lihat saja nanti, sejauh mana Pemkab Sumedang meraih pendapatan untuk kas daerah, khusus untuk yang di atas lahan itu,” ucapnya.
Ia mengatakan, sangat riskan jika meyerap pajak utuk PAD di sana,mengingat status lahan pun menjadi dasar untuk menyerap PAD sektor pajak.
Jika sebatas status usahanya, dipastikan sudah diketahui melalui pemerintahan desa, dan dipastikan langkah itu sudah ada.
Namun, ujar dia, jika memperoleh izin melalui Pemkab dan apakah membayar pajak dari sisi lain-laini, itu sangat riskan.
“Dasar penarikan pajak itu diantaranya bukti kepemilikan lahan. Nanti, saya akan memastikan persoalan itu,” ujarnya. (Azis Abdullah)***