Atasi Kesenjangan Digital di Bangku SD Ala STEAM Club Garut

EDUKASI, LINIMASA58 views
Antusias Siswa SD di Garut tengah praktikum TIK lewat lab komputer mini buatan STEAM Club

TASIKMALAYA, (KP).-

Penguasaan keterampilan dasar TIK, idealnya dipupuk sedari bangku SD. Hal ini menjadi penting dalam rangka mengimbangi perkembangan teknologi yang kian pesat. Sayangnya, saat ini hal tersebut tidaklah berbanding lurus dengan realita di lapangan.

Pembimbing STEAM Club Indonesia, Dewis Akbar menuturkan, jika kebanyakan pembelajaran TIK yang diberikan di kelas sejauh ini masih hanya mengandalkan teori semata. Salah satu alasannya, tidak lain, karena belum tersedia lab komputer untuk pratikum siswa.

“Makanya, sangat wajar jika kemudian muncul kesenjangan digital di antara siswa SD. Bagi yang berasal dari kalangan berada, mungkin keterampilan itu didapatkan dengan ketersediaan di rumahnya. Tapi kemudian, yang menengah ke bawah ini, kan tidak begitu. Bahkan, sampai ada yang fungsi backspace pun tidak tahu,” jelas pria yang dijumpai di kegiatan workshop STMIK DCI, baru-baru ini.

Dewis menambahkan, misalnya di wilayah Kecamatan Garut Kota saja dari delapan puluh sekolah dasar, hanya dua sekolah yang baru menyediakan lab komputer.

“Kami paham betul, itu bukan karena pihak sekolah tidak mau mengadakan. Tetapi memang dengan jatah dana BOS yang diterima di sekolah, tidaklah cukup untuk belanja satu set lab komputer konvensional dengan lengkap,” imbuhnya.

Demi meretas gap itu juga, komunitas Science, Technology, Engineering, Art and Math (STEAM) Club Indonesia yang aktif dan menorehkan karya di ajang nasional INAICTA ini, menggagas sebuah lab komputer mini. Sebagai solusi agar di masa depan, seluruh lulusan SD dapat mengenyam bekal keterampilan TIK, tanpa terkecuali lagi.

Saat ini fasilitas tersebut, setidaknya membukakan kesempatan lima kelas di SD Negeri Regol 8 dan SD Negeri Regol 10 Kab. Garut untuk mulai pratikum TIK.

“Lab komputer konvensional di sekolah itu ada banyak keterbatasan dari ruangan,pengadaan PC, sampai masalah keamanan. Berkaca dari sana juga, kami terinspirasi untuk manfaatkan komputer mini Raspberry Pi sebagai sarana pratikum,” ujarnya. Pasalnya, dengan ukuran yang cilik, perlengkapan mudah saja disimpan di pojok ruangan, sehingga tak perlu memikirkan pembangunan ruangan tambahan.

Pratikum yang dilakukan di SD Negeri Regol 10 ini pun dilakukan di ruang guru, agar tidak repot mengangkut monitor. “Selain juga dari penyimpanan lebih aman di sana, karena satu-satunya ruangan yang berjendela tralis dan gembok ganda,” tambah dia.

Yang paling menarik, dalam waktu tiga minggu diselenggarakan praktikum, adanya indikasi kemajuan para siswa SD tersebut. Sebab, sebelumnya pun pihaknya telah melakukan survei sederhana terkait kecepatan mengetik kepada para siswa kelas 5 SDN Regol 10 Garut,
yang notabene-nya tergolong sekolah di daerah perkotaan Garut tersebut.

Ada siswa yang mencapai 30 kata per menit (KPM) dan ada pula siswa yang hanya kemampuannya di 3 KPM. Namun secara rata-rata di SD tersebut, 12,71 KPM. “Tentu ini perhatian kami, karena masih jauh dengan rata-rata dunia yang ada di angka 40 KPM. Dan seetelah melakukan pratikum dengan frekuensi dua kali seminggu, meningkat jadi 17.21 KPM. Jujur saja, kami penasaran untuk evaluasi hasil selama satu semester atau satu tahun,” ungkap Dewis.

Dan lagi, siswa pun dikatakannya sudah sangat akrab dengan sistem operasi Linux Raspian, baik untuk mengetik dokumen sederhana dengan Libre Office Writer, mengkopi data ke USB, mencetak data, hingga berselancar di Linux.

Menurut dia, lab komputer mini merupakan hasil akumulasi aset pihaknya selama dua tahun. Berbagai dana serta perlengkapan sumbangan donatur, mengilhami perangkat yang dapat dinikmati para siswa tersebut. “Dan Alhamdulillahnya, memang orangtua pun memegang peranan penting di sini, karena bersedia memberikan kontribusinya dengan iuran operasional 2500 per pratikum untuk perawatan,” ujar dia. Dengan akumulasi perawatan saja, bukan tidak mungkin kata dia kemudian dapat lahir lab komputer mini di SD lain juga.

“Saat ini kami pun tengah menyusun konsep untuk lab komputer mini keliling yang diramu semacam all in one PC, nantinya bisa diangkut ke sekolah yang membutuhkan. Nantinya, satu set lab bisa dimanfaatkan oleh enam sekolah, efektif karena enam hari belajar bisa digunakan bergilir,” jelas Dewis.

Untuk itu, dia pun tidak sependapat jika dikatakan infrastruktur internet satu-satunya hambatan dalam kesenjangan digital. “Banyak yang lokasi sudah banyak tower tapi mereka belum bisa memanfaatkan, karena ya bekal keterampilan juga sarana tidak terjangkau,” tambahnya.

Keberadaan lab mini di lingkungan sekolah ini diapresiasi Kepala SD Negeri Regol 8 Kab. Garut, Ema Nurjamilah, pihaknya sangat terbantu karena bisa memperkenalkan TIK kepada anak didik dengan lebih aplikatif. “Sekalipun pelaksanaan bergilir, anak-anak sangat antusias dan bersemangat mengikuti, kami berharap nanti akan ada yang mengikuti jejak kakak kelasnya yang berprestasi karena sekarang bisa lebih tergali kreativitas,” ujar dia. Bahkan, kini juga ada empat siswa SD yang tengah diarahkan membuat aplikasi pemetaan petani teh di Garut. Selain sebelumnya pun, prestasi tingkat nasional ditorehkan juga dari saron simulator oleh lulusan siswa lainnya.

Bahkan, kreasi yang brilian ini mendapatkan apresiasi dari pakar IT Nasional Onno W Purbo Ph.D , pihaknya menyarankan untuk merilis panduan membangun lab komputer mini ini agar bisa diaplikasikan banyak sekolah secara luas. (Astri Puspitasari)***