Kawaguci Jadi Pioner Resto Jamur di Jabar

EKBIS50 views

Meneropong Cuan Bisnis Kuliner Jamur

TASIKMALAYA, (KAPOL).-

Tingginya minat konsumsi masyarakat terhadap olahan berbahan baku jamur, belum sebanding dengan pemain kreatif di belakangnya. Tak ayal ceruk pasar satu inipun terbilang masih begitu lenggang untuk dijejali. Hal itu pula setidaknya yang mendorong salah satu pemain di budidaya jamur, H. Cucu Suhendi untuk menggebrak manisnya blue ocean tersebut, yang sejak tiga bulan lalu dicobanya melalui Rumah Jamur Kawaguci-nya.

Menurut pria yang juga termasuk Wirausaha Bank Indonesia (Wubi) Tasikmalaya ini, sedikitnya 80 kilogram jamur mampu dihasilkan tiap harinya. Jamur-jamur itu pun langsung terserap di berbagai pasar di wilayah Tasikmalaya. Kendati demikian, dia mengaku angka tersebut masih belum seberapa. Lantaran kebutuhan jamur sendiri berdasarkan data tahun 2015 di Pasar Cikurubuk sebagai garda induk pendistribusian, per 1×24 jamnya dapat mencapai 4 kuintal.

“Makanya, kami pikir akan lebih maksimal ketika dilempar ke pasar itu tidak hanya dalam kondisi yang mentah saja, tapi bisa juga berbentuk olahan. Tentu ini akan menambahkan nilai tersendiri, apalagi beberapa tahun ini kami juga mencobanya dalam bentuk camilan jamur yang direspon sangat positif,” ujarnya dijumpai di lokasi yang terletak di Jalan Gunung Sabeulah. Bahkan, produk inovasi bermerek Radja Jamur Crispy ini pun telah didaftarkan atas HAKI-nya. 

Sayangnya kata dia, baik dari masyarakat ataupun pelaku usaha, sejauh ini masih sangat terbatas dalam mengolah jamur. Alhasil, jamur hanya dikenal sebagai krispi, atau juga pepes saja. “Padahal dengan beragam jenis jamur yang ada, itu bisa diolah sedemikian rupa jadi kudapan, seperti di kami ini dari mulai nusantara, jepang, western, bahkan timur tengah ya bahan bakunya pakai jamur,” tambah H.Cucu yang juga sebagai Presiden Direktur PT. Rumah Jamur Kawaguci ini.

Pria tersebut juga mengaku tidak hanya menggunakan jamur tiram saja yang paling mudah dijumpai, namun juga jamur kancing, jamur kuping, bahkan ada beberapa yang terpaksa import seperti jamur sitake dan jamur enoki, demi dapat mewujudkan misinya memasyarakatkan jamur di masyarakat dengan ragam olahannya.

Menurutnya, di kota besar lainnya, tren untuk jamur ini juga sama bagusnya. “Karena sekarang semakin tinggi kesadaran hidup sehat yang ikut menopang tren jamur. Hanya saja yang kami lihat dari peluang yang besar itu, untuk menciptakan rumah makan serba dari jamur ini bisa dihitung jari. Berdasarkan survei tim kami juga, di Jawa Barat ini baru di RJK saja,” kata dia.

Hal tersebut dijelaskan H. Cucu lantaran masih belum terbentuknya pasar untuk kuliner jamur, sehingga kebanyakan pelaku usaha tidak mau mengambil risiko yang tinggi. “Bagi kami, kosongnya pasar dan belum terbentuk, itu justru kesempatan bagus. Artinya, peluang yang bisa direkuh juga bisa semakin lebar. Tapi memang, perlu gencar inovasi agar bisa bertahan di pasar,” ujarnya.

Misal saja, untuk di RJK, sate jamur dijadikan sebagai welcome food bagi pengunjung sembari menunggu pesanannya datang. Hal sederhana ini, menurutnya penting, demi menciptakan keterikatan dengan konsumen. “Karena kalau sekarang bisnis kuliner, hanya kuliner saja yang dikedepankan tidak bisa. Rencananya memang kami ke depan akan menggelar juga kegiatan seputaran tentang sosialisasi jamur ke masyarakat, dan menciptakan experience baru lainnya,” tambah dia. 

Arahan bisnis ini ke depannya pun akan menjadi franchise alias waralaba. Saat ini mereka tengah mematangkan persiapan, lantaran yang antri pun sudah lumayan. “Karena bicara bisnis kuliner ya paling cocok di franchise, paling ramah modal,” jelas dia. Dari total sekitaran 80 kilogram jamur yang dihasilkan, setidaknya 25 kilogramnya digunakan untuk olahan. Dia berharap ke depan, seluruhnya bisa diolah, sehingga tidak dilepas ke pasar secara mentahan saja. 

Kawaguci sendiri, diungkapkan H. Cucu merupakan sebuah kependekan dari Kawasan Gunung Cicau, dimana lokasi tersebut letak budidaya jamur tersebut. “Jadi kami ingin sekaligus bisa mengangkat daerah Gunung Cicau ini, karena potensi pertaniannya bagus,” tutup dia. (Astri Puspitasari)***