GARUT, (KAPOL).- Kasus penyimpangan seks yang melibatkan 19 anak di bawah umur di Kabupaten Garut yang dikenal dengan sebutan “kukudaan” mendapat perhatian berbagai kalangan.
Faktor lingkungan disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya kasus yang sangat memprihatinkan tersebut.
“Ada berbagai faktor yang bisa menjadi penyebab terjadinya kasus penyimpangan seks yang dilakukan 19 anak di bawah umur di Garut ini, salah satunya lingkungan. Namun untuk lebih jelasnya harus dilakukan pendalaman yang lebih jauh lagi,” komentar penggiat isu perlindungan anak Yayasan Bahtera, Adi Prasetyo saat ditemui di Pendopo Garut, Minggu (28/4/2019).
Menurut Adi, pola pengasuhan di lingkungan keluarga juga bisa menjadi pemicu munculnya perilaku menyimpang pada kasus “kukudan” yang melibatkan 19 anak di bawah umur di wilayah Kelurahan Margawati, Kecamatan Garut Kota ini.
Bahkan kasus ini dinilainya masuk dalam kategori penelantaran anak sehingga anak bisa dengan mudah mengakses fasilitas internet tanpa ada pengawasan orang tua.
Dikatakannya, upaya penanganan harus dilakukan secara serius dan berkesinambungan terhadap anak-anak yang mengalami penyimpangan seks tersebut.
Namun yang lebih penting adalah adanya perlindungan dan terapi agar mereka tak merasa trauma atau mengulangi keslahan yang sama.
Dalam hal ini tutur Adi, peran orang tua juga sangatlah penting dalam upaya pemulihan mental anak.
Oleh karenanya, pendekatan bukan hanya harus dilakukan terhadap anak yang mengalami penyimpangan seks akan tetapi juga terhadap orang tua mereka.
“Mental orang tua juga penting untuk menjalani pemulihan selain tentunya mental anak juga. Ada parenting skill (keterampilan dalam hal mengasuh anak) yang harus diberikan kepada para orang tua dari anak-anak yang menjadi korban dalam kasus ini,” katanya.
Di sisi lain, Adi menilai respon pemerintah serta lembaga terkait dalam kasus ini sudah sangat baik. Begitu kasusnya muncul, pemerintah dan lembaga terkait di antaranya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) langsung bergerak untuk melakukan penanganan.
Bagusnya lagi tutur Adi, pemkab dan P2TP2A memberikan perlindungan yang sangat baik sebagaimana yang dibutuhkan anak pascakejadian.
Identitas anak-anak pun benar-benar dijaga agar tak terekspos ke publik yang tentunya hal ini bisa sangat berdampak terhadap mental sang anak.
Diungkapkannya, meski saat ini kasus “kukudaan” ini sudah muncul ke permukaan dan informasinya sudah menyebar ke seluruh Indonesia, akan tetapi identitas anak masih bisa diselamatkan berkat adanya kerja sama yang baik dari berbagi pihak.
Ia berharap kasus seperti ini tidak akan pernah terulang baik di Garut maupun daerah lainnya di Indonesia.
“Terus terang kamipun merasa kecolongan dengan kasus ini. Kami harapkan tak akan ada lagi kasus seperti ini karena ini sangat memprihatinkan,” ucap Adi.
Ia menyampaikan, selama melakukan pendampingan terhadap kasus-kasu yang dialami anak, hampir 100 persen anak yang berhadapan dengan hukum berasal dari keluarga tak harmonis.
Latar belakang keluarganya berantakan sehingga mereka tak mendapatkan perhatian yang selayaknya.
Selain akibat adanya faktor kekerasan, Adi juga melihat adanya penelantaran, bahkan eksploitasi sehingga mereka melakukan pelanggaran.
Untuk kasus “kukudaan” yang terjadi di Kabupaten Garut ini sendiri diakuinya pihaknya masih terus melakukan pendalaman untuk mengetahui faktor penyebabnya.
“Faktor penyebabnya masih kita dalami. Hanya saja yang pasti kami melihat ada kesalahan dalam pola pengasuhan terhadap mereka,” katanya. (Aep Hendy S)***