Kurangi Endapan Limbah, Pengusaha Kulit Lakukan Normalisasi Sungai

GARUT86 views

GARUT, (KAPOL).- Tingginya tingkat pengendapan limbah kulit di sejumlah sungai yang ada di kawasan perkotaan Garut diperparah dengan perilaku warga yang sering membuang sampah ke sungai.

Hal ini menjadi perhatian para pengusaha kulit di Sukaregang Garut yang tergabung dalam Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Garut.

Berbagai upaya terus dilakukan APKI Garut untuk mengurangi tingkat pengendapan limbah di sungai.

Salah satunya dengan melakukan kegiatan normalisasi sungai secara rutin setiap tiga bulan sekali.

Wakil Ketua Bidang Pemerintahan APKI Garut, Sukandar, menyebutkan normalisasi dilakukan terhadap tiga sungai yang ada di wilayah perkotaan Garut yakni Sungai Ciwalen, Cikaengan, dan Sungai Cikendi.

Ketiga sungai tersebut selama ini terdampak langsung oleh limbah kulit yang diperparah dengan banyaknya tumpukan sampah rumah tangga.

“Selama ini terdapat sedikitnya lima kelurahan di wilayah Kecamatan Garut Kota yang teraliri sungai yang terdampak limbah cairan dari penyamakan kulit. Kelima kelurahan tersebut adalah Kota Wetan, Sukamenteri, Ciwalen, Regol, dan Suci Kaler,” ujar Sukandar saat ditemui di sela kegiatan normalisasi Sungai Cigulampeng di kawasan Sukaregang, Kecamatan Garut Kota, Selasa (14/8/2018).

Upaya normalisasi sungai ini, tutur Sukandar, dilakukan sebagai bentuk kepedulian para pengusaha penyamakan kulit di Sukaregang Garut terhadap lingkungan. Mereka tidak menginginkan pencemaran sungai dibiarkan begitu saja sehingga berbagai upayapun terus dilakukan.

Dikatakannya, pengendapan limbah pengolahan kulit selama ini diperparah dengan perilaku warga yang suka sembarangan membuang smapah ke sungai.

Akibatnya, sungai dipenuhi sampah sehingga alira airnya terganggu dan hal inilah yang menyebabkan limbah kulit mengendap.

Sukandar menjelaskan, untuk menormalkan aliran sungai, pihaknya secara rutin melakukan kegiatan normalisasi dengan cara membersihkan sampah dan limbah yang mengendap di tiga sungai yang ada di kawasan perkotaan.

Kegiatan ini menggunakan anggaran dari para pengusaha yang tergabung dalam APKI Garut yang dilakukan setiap tiga bulan sekali.

Kegiatan normalisasi sungai yang dilakukan kali ini, tambahnya, merupakan yang ketiga kalinya.

Banyak sekali sampah yang berhasil diangkat dari aliran sungai sehingga air sungai bisa kembali mengalir dengan lancar dan endapan limbah kulitpun bisa ikut dibersihkan.

“Yang paling parah saat normalisasi sungai tahap dua yang dilakukan tiga bulan yang lalu. Saat itu kami bisa mengangkat 13 truk sampah rumah tangga yang menjadi penyebab terjadinya pengendapan,” katanya.

Melalui kegiatan tersebut, Sukandar berharap selain bisa menormalkan aliran air sungai dan mengurangi tingkat pengendapan limbah, juga bisa menimbulkan kesadaran bagi masyarakat untuk tidak membuang sampah rumah tangga ke sungai.

Parahnya lagi, katanya, sampah yang terdapat di dalam sungai selama ini bukan hanya sampah plastik atau limbah rumah tangga lainnya.

Tak jarang ditemukan sampah berupa kasur bekas, kursi bekas, serta barang-barang berukuran besar lainnya sehingga menyumbat aliran air di sungai.

Menurutnya, selain melakukan normalisasi sungai, pengusaha juga telah melakukan upaya lainnya di antaranya membuat tempat pembuangan limbah cair dari pengolahan kulit berupa ipal.

Hal ini diakuinya cukup epektif dalam mengurangi tingkat pencemaran sungai oleh limbah cair dari pengolahan kulit.

“Untuk saat ini memang belum semua pengusaha bisa membuat ipal tapi sudah lumayan banyak juga yang telah memiliki ipal. Hal ini bisa dimaklumi mengingat anggaran untuk pembuatan ipal yang cukup besar yakni minimal mencapai Rp 700 juta bahkan ada yang sampai Rp 1,5 miliar,” ucap Sukandar.

Ipal Milik Pemerintah Tak Berfungsi

Dalam kesempatan tersebut, Sukandar juga menyayangkan tidak berfungsinya tiga unit ipal yang sebelumnya dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat di daerah tersebut.

Padahal untuk pembangunan ipal itu, pemerintah telah mengeluarkan biaya sampai miliaran rupiah.

Menurutnya, tidak berfungsinya tiga unit ipal milik pemerintah itu diakibatkan tidak adanya anggaran operasional yang dikeluarkan pemerintah.

Padahal para pengusaha kulit sudah menyanggupi untuk mengeluarkan biaya operasionalnya dengan catatan pemerintah harus mengeluarkan surat hak guna pakai.

“Pemerintah selalu beralasan tidak ada anggaran untuk operasional tiga ipal yang telah dibangun sehingga para pengusaha mau mengeluarkan anggaran tapi mereka minta pemerintah mengeluarkan surat hak guna pakai. Hal ini sudah berulangkali kami sampaikan akan tetapi sampai saat ini belum ada tanggapan dari pemerintah,” kata Sukandar.

Masih menurut Sukandar, selain mengeluarkan anggaran untuk kegiatan normalisasi tiga sungai, selama ini para penguasaha juga rutin mengeluarkan dana konpensasi untuk warga. Dana tersebut disalurkan setiap tiga bulan sekali melaluiketua RW masing-masing.

Ini tandasnya, juga merupakan bentuk kepedulian para pengusaha penyamakan kulit terhadap masyarakat.(Aep Hendy S)***