JAMANIS. (KAPOL).- Nasib para buruh pengrajin bata merah terancam kehilangan penghasilannya. Hal ini seiring dengan mendominasinya penggunaan hebel atau bata ringan yang diproduksi dengan teknologi modern. Akibatnya, penjualan bata mereh kiat terpuruk dan mengancam para pekerjanya.
“Semakin menurunnya penjualan bata merah karena konsumen lebih memilih menggunakan hebel atau bata ringan yang diproduksi pabrikan dengan teknologi modern. Sementara bata merah diproduksi secara tradisional atau manual,” kata pengrajin bata merah, di Kecamatan Jamanis, Kabupaten Tasikmalaya, Kusnadi kepada “KAPOL” Senin (7/1/2019).
Menurutnya, dirinya bersama sekitar 30 rekan lainnya hanya sebagai buruh, dan bekerja secara kelompok. Untuk bagian produksi cetak bata merah kelompoknya sebanyak 4 orang, dengan upah Rp 90 per satu bata merah. Ada juga kelompok dibagian membakar bata dengan upah yang sama.
Dalam sehari, setiap kelompok ditarget untuk bisa memproduksi sebanyak 5.000 biji bata merah. Artinya, jika satu biji dihargakan Rp 90 maka dalam sehari akan mendapatkan upah Rp 450.000 dan dibagi empat orang.
Namun, saat ini penjualan bata merah semakin menurun disebabkan konsumen mulai beralih ke bata ringan yang diproduksi di pabrik menggunakan alat modern. Sedangkan proses pembutan bata merah tak perlu keahlian khusus, hanya dibutuhkan bahan baku berupa tanah liat (lempung), alat pencetak bata, dan pasir silika.
Akibatnya, majikan mengurangi produksi bata merah karena sepi pembeli. Adapun produksi masih berjalan karena masih ada pemesanan dari pengembang proyek perumahan meski dengan harga murah. Karena jika hanya mengandalkan pembeli dari konsumen langsung sudah sangat jarang. Tak jarang batanya mengendap di lokasi pembuatan bata merah atau Lio selama sebulan karena tak ada yang beli.
“Jika hanya mengandalkan konsumen langsung, bisa jadi sudah bangkrut dan kehilangan pekerjaan. Untung masih ada pelanggan dari proyek perumahan, meski dengan harga yang murah. Kalau proyek perumahannya sudah beres, tidak tahu bagaimana nasib kami,” ucapnya.
Dikatakan dia, konsumen banyak beralih ke bata hebel karena memiliki kelebihan cepat dipasang, tahan gempa dan tahan api dibandingkan bata merah. Bahkan jika dibandingkan perhitungan biaya penggunaan bata merah dengan hebel, maka biaya bata ringan masih lebih murah per meter persegi-nya. Semakin luas dinding yang harus akan dibangun, semakin besar pula penghematan yang kita lakukan.
Tentunya, saat ini nasib buruh pengrajin bata merah nyaris tersingkir dan terlindas. Katena sejak munculnya bata ringan yang murah dan lebih praktis, mengakibatkan popularitas bata merah turun pamornya. Tak sedikit pabrik-pabrik kecil gulung tikar tapi ada sebagian yang mempertahankan usahanya dan tetap mempertahankan buruhnya yang diberi upah tak sepadan dengan kerasnya mereka bekerja.
“Kami sebagai buruh pengrajin bata merah seakan termarjinalkan. Padahal tak ada jalan lain dan tak ada keahlian lain yang bisa dilakukan selain membuat bata merah,” tuturnya.
Ditambahkan Kusnadi, meski penghasilannya sedikit dan tak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan, namun terus menekuni pekerjaan ini untuk menyambung hidup, ungkapnya. (Ema Rohima)***