TASIKMALAYA, (KAPOL).-Geliat petani Kopi di Kampung Kiara Bongkok Desa Puspa Mukti Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya membuka potensi ekonomi baru. Disamping pengembangan kopi khas Jawa Barat ke pasar mancanegara, juga mampu memberikan daya ungkit baru di kampung yang berjarak 50 km dari pusat Kota Tasikmalaya tersebut.
“Tidak menutup kemungkinan bisa ke arah sana. Kita baru delapan bulan memberikan pendampingan melalui pendekatan klaster. Tapi ada tahapan yang harus dilalui bersama,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya, Heru Saptaji.
Tahun pertama pendampingan fokus pada aspek perbaikan budidaya dan produktivitas. Tahun kedua peningkatan kualitas kelembagaan kelompok dan aspek manajemen keuangan sederhana. Tahun ketiga program hilirisasi, akses keuangan dan perluasan pasar.
“Di tahun keempat klaster dapat berkembang secara mandiri dan bisa memberikan replikasi terhadap kelompok tani lain,” katanya.
Perubahan mindset, kata dia, merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan dalam pengembangan program ini. Terlebih petani juga mendapatkan pembinaan mulai dari cara penanaman, pengolahan pasca panen hingga membantu pemasaran.
“Bantuan alat, rumah penjemuran hingga digitalisasi pemasaran hingga pasar mancanegara melalui kemitraan antara BI se-Jawa Barat,” ujarnya.
“Kita ajarkan bagaimana menjadi barista (peracik) kopi, pendampingan dari pra hingga panen. Bantuan mesin pemanggang kopi membuat nilai tambah produk meningkat luar biasa,” kata Heru menjelaskan.
Betapa tidak, awalnya petani hanya bisa menjual buah kopi hanya dihargai Rp 6-9 ribu per kilogram. Dengan berbagai bantuan peralatan, hingga terkemas rapi tinggal seduh mencapai Rp 300 ribu.
“Bayangkan berapa kali lipat petani kopi mendapatkan manfaatnya. Kekhasan kopi cigalontang itu salah satunya kandungan abu vulkanik pada lahan yang ditanami petani. Semakin tinggi lahan, semakin kuat pula rasanya,” tambah Kepala Unit Pengembangan Ekonomi Kantor Perwakilan BI Tasikmalaya, Yusi Yulianti.
Lahan tidur
Ketua Kelompok Tani Pusparahayu, Apong mengatakan awalnya hanya menanam hortikultura. Hingga tahun 1995 lalu berubah haluan kepada komoditi kopi. Dalam setahun terakhir berkembang dari sebelumnya 6,7 hektar menjadi 80 hektar lahan dan ditargetkan hingga 250 hektar.
“Kita sama sekali belum tahu rasa kopi yang selama ini dijual ke bandar. Bahkan kaget satu gelas itu di kota besar dihargai Rp 18 ribu per gelas,” katanya.
“Mulai dari situ pengetahuan terbuka, dan bahkan jumlah petani kopi meningkat hingga 400 anggota. Bahkan dari sebelumnya lahan garung, sekarang mulai ditanami kopi,” ujarnya menjelaskan.
Kapasitas produksi sendiri mulai bertambah seiring dengan jumlah pohon. Tahun depan sekitar 80 hektar pohon kopi mulai produktif menghasilkan buah.
“Hitungannya perhektar rata-rata terdapat 2 ribu pohon dimana satu pohon bisa menghasilkan 4 kilogram buah kopi,” kata penggiat krlompok tani lainnya, Warli Koswara.
Kopi Cigalontang kini mulai dilirik sejumlah negara-negara asing. Disamping sejumlah kota besar di Indonesia melalui pendampingan Bank Indonesia.
“Beberapa kali kita dibantu pameran dan mendapatkan respon dari sejumlah negara mulai Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan. Bahkan ke Belanda dan Jerman. Mudah-mudahan bisa terwujud,” katanya. (Inu Bukhari)***