TASIKMALAYA, (KAPOL).- LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menggelar FGD (Focus Grup Discusion), Rabu (17/5/2017) lalu. Kali ini membahas ikhwal Islam dan toleransi di Kota Tasikmalaya. Lebih mengerucut lagi soal NU (Nahdlatul Ulama) dan golongan minoritas di Tasikmalaya. Khususnya Ahmadiyah.
Peneliti LIPI yang konsen di penelitian tentang masalah toleransi, Amin Mudzakir mengatakan ada tiga poin yang dihasilkan pada FGD tersebut. Pertama, kata Amin, intoleransi terhadap kelompok minoritas-kultural keagamaan di Tasikmalaya dilegitimasi oleh adanya beberapa kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Misalnya, kata Amin, Perda No. 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai.
“Perda ini diskriminatif karena tidak melibatkan partisipasi publik (hanya kalangan tertentu yang terlibat, red) yang luas sejak mulai pembuatannya,” kata Amin, Kamis (18/5/2017).
Poin selanjutnya, kata Amin, NU dan Ahmadiyah mempunyai wawasan kebangsaan (ukhuwwah wathoniyah) yang sama yang inklusif. Alhasil keduanya bisa bekerja sama menciptakan toleransi dan kebhinekaan dalam bingkai NKRI.
“Khilafah dalam pengertian Ahmadiyah hanya bersifat spiritual. Bukan politik. Sehingga beda jauh dengan khilafah versi HTI yang murni politik,” kata Amin.
Terakhir, imbuhnya, sejak penyerangan Cikeusik 2012 lalu, Ahmadiyah semakin giat membuka diri untuk mengikis kesan ekslusif terhadap mereka. Sekarang mereka terlibat aktif dalam forum-forum kebangsaan.
“Di Tasikmalaya hal ini difasilitasi terutama oleh GP Ansor,” pungkas Amin. (Imam Mudofar)