TASIKMALAYA, (KAPOL).- Hari Peduli Autisme diperingati secara internasional setiap tanggal 2 April. Masyarakat diajak untuk lebih menerima dan berempati, khususnya kepada anak-anak autis.
Candaan atau stigma negatif mengenai autis, pun diharapkan dapat segera memudar. Sebab tak dapat dipungkiri hari ini, individu dengan autisme masih dipandang sebelah mata.
Dia sering dipisahkan menjadi bagian lain dari ekosistem sosial masyarakat. Yang turut menambah miris, sebutan ‘autis’ makin bergeser dan akrab dilontarkan masyarakat, sebagai respon kebiasaan seseorang yang asyik memainkan perangkat gawai.
Hal ini diungkapkan pegiat literasi dan juga tokoh pendidik, Vudu Abdul Rahman. Dia menilai, justifikasi terkait autisme timbul lantaran kurangnya pemahaman di masyarakat.
“Ketidaktahuan dan jarang mau mencari informasi, menjadi kebiasaan di masyarakat. Akhirnya autis hanya tahu luarnya (istilahnya) saja. Padahal, dasarnya itu ya, setiap anak diciptakan berbeda-beda mulai dari talenta hingga kemampuannya,” ungkap dia dijumpai di Markas Sabak Percisa, baru-baru ini.
Vudu menambahkan, anak dengan autisme sebetulnya memiliki kemampuan yang menonjol dan mumpuni. Sayang, sejauh ini, sekolah dan lingkungan masih belum memberikan ruang yang cukup untuk mereka mengeksplorasinya.
“Di dunia pendidikan, misalnya, guru dan sekolah dihadapkan pada situasi memukul rata atau terpanggil keberanian dari nalurinya untuk turun mengembangkan,” kata dia.
Menurutnya, anak dengan autisme akan lebih baik jika dibiarkan mengenyam pendidikan inklusi. “Seperti kata Ki Hajar Dewantara, sekolah itu taman bermain bagi anak-anak. Ukuran keberhasilan pun bukan sebatas angka, tapi memerdekakan jiwa anak. Kita lihat beberapa contoh siswa dengan autisme ketika sekolah inklusi, percaya dirinya lebih terbangun,” tegas Vudu.
Refleksi itu juga yang coba dituangkan pihaknya bersama Sabak Percisa dalam sebuah film berjudul ‘Tatalu’. Dalam film pendek berdurasi sekitar 20 menit-an ini menceritakan seorang anak dengan kebutuhan khusus yang bisa mewadahi potensinya karena lingkungannya yang mendukung. Dari semula hobi ‘tatalu’ di meja, anak tersebut digiring melalui alat musik jimbe. Yang akhirnya dapat menjadi karya, sekaligus medium terapi lantaran melalui alat musik ritmik ternyata dapat memberikan pengaruh positif pada jiwa anak dengan autisme.(Astri Puspitasari/”KP”)***