GARUT, (KAPOL).- Program pemerintah melalui PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk mengaktifkan kembali jalur kereta api Cibatu-Garut, disambut baik warga.
Namun di sisi lain tentu ada juga warga yang merasa terkena imbasnya dari kebijakan tersebut.
Warga yang selama ini mendirikan rumah di sepanjang lahan milik PT KAI termasuk di atas bantaran rel kereta api, mau tak mau tentu harus rela rumahnya ditertibkan.
Di sepanjang jalur Cibatu-Garut sendiri berdasarkan hasil pendataan pihak PT KAI saat ini terdapat 1500 rumah yang akan ditertibkan.
Meski sudah pasti terkena dampak, akan tetapi warga yang rumahnya akan ditertibkan mengaku pasrah. Mereka sadar jika selama ini lahan yang ditempatinya bukan milik mereka.
“Kami pasrah dan tentunya akan mengikuti aturan termasuk ketika kami harus meninggalkan rumah yang selama ini kami tempati karena akan dilakukan penertiban oleh PT KAI. Kami tak bisa berbuat apa-apa karena memang lahan yang kami gunakan untuk membangun rumah ini memang bukan milik kita,” komentar Cicih (55) warga stasion, RT 04 RW 07 Kelurahan Pakuwon, Kecamatan Garut Kota.
Diakuinya, lahan yang ia tempati dan dijadikan rumah bersama suami dan anak-anaknya selama ini memang merupakan lahan bekas kantin stasiun.
Ia sudah selama 36 tahun menempati lahan tersebut tepatnya setelah jalur Cibatu-Garut ditutup.
Dikatakan Cicih, lahan bekas kantin stasiun yang selama ini digunakan sebagai tempat tinggal tersebut lokasinya persis berada di samping stasiun Garut.
Dengan adanya kebijakan PT KAI untuk membuka kembali jalur Cibatu-Garut, otomatis dirinya tak bisa lagi menempatai lahan tersebut.
“Kalau bicara soal kerugian, tentu kita merasa dirugikan karena rumah yang telah kita bangun dengan biaya tak sedikit ini harus dibongkar.
Namun ini sebuah resiko karena kami membangunnya di lahan milik PT KAI dan kini pemiliknya mau menggunakannya lagi,” kata ibu empat anak ini.
Diakui Cicih, adanya penertiban yang dilakukan PT KAI terhadap bangunan yang berdiri di lahan milik KAI sempat mengagetkannya.
Sebelumnya sama sekali tak pernah terbersit di pikirannya jika jalur kereta api Cibatu-Garut yang sudh lama ditutup kini diaktifkan kembali.
Dituturkannya, awal mula ia menempati lahan bekas kantin stasiun itu karena dulu ia sering ikut berjualan dengan ibunya di kantin tersebut.
Setelah jalur Cibatu-Garut ditutup 36 tahun lalu, maka ia menempati lahan tersebut hingga kini.
Menurut Cicih, hingga saat ini belum terpikirkan olehnya mau tinggal di mana setelah pindah dari rumah yang saat ini ditempatinya.
Namun demikian ia sama sekali tidak akan melakukan aksi protes terhadap kebijakan PT KAI dengan rencana penertiban yang akan dilakukannya.
Namun Cicih meminta, penertiban dilakukan secara merata terhadap semua warga yang menempati lahan milik PT KAI. Ia akan menolak penertiban yang dilakukan jika dilakukan scera tebang pilih atau sebagian warga.
Menanggapi tentang uang kerohiman atau uang kadedeh yang akan diberikan PT KAI terhadap warga yang rumahnya ditertibkan, Cicih menilai hal itu sebagai sebuah kebaikan dari pihak PT KAI.
Jika melihat nominalnya, tentu sangat jauh dengan kerugian yang akan dialaminya akan tetapi palingb tridak PT KAI mempunyai niat baik untuk membantu.
“Nominalnya memang terbilang kecil yakni hanya Rp 250 ribu per meter untuk bangunan permanen. Namun lumayan juga, paling tidak saya punya bekal untuk mengontrak rumah selama beberap bulan,” ujarnya.
Ungkapan serupa dituturkan warga lainnya, Mursito (45).
Meski hingga saaat ini diakuinya belum menerima pemberitahuan terkait rencana penertiban yang akan dilakukan PT KAI, akan tetapi ia pun mengaku akan pasrah dan mentaatinya.
Mursito mengungkapkan, ia sudah menempati lahan yang katanya akan ditertibkan itu sejak tahun 1991. Di atas lahan tersebut, ia pun telah mendirikan bangunan permanen dengan biaya saat itu mencapai Rp 100 juta.
“Dulu saat membangun rumah di atas lahan tersebut, saya habis uang hingga Rp 100 juta. Namun itukan hitungan dulu ketika harga material dan pekerja belum semahal seperti saat ini,” ucap Mursito.
Sama halnya dengan Cicih, Mursito juga mengaku tak bisa berbuat banyak dengan apa yang telah menjadi keputusan PT KAI yang akan menertibkan bangunan yang berdiri di atas lahan milik KAI. Hal ini menyusul kebijakan pembukaan kembali jalur Cibatu-Garut yang sudah lama tutup.
Sebelumnya, Kepala Daop II Bandung, Saridal, mengatakan akan memberikan uang kerohiman atau uang kadedeh kepada warga yang rumahnya tergusur.
Adapun besaran uang kadedeh yang akan diberikan PT KAI yakni sebesar Rp 250 ribu per meter dan itu hanya berlaku untuk bangunan permanen.
Saridal juga menerangkan, untuk mengaktifkan jalur Cibatu-Garut, PT KAI telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 400 miliar. Sementara itu jumlah rumah yang akan terkena penertiban ada 1500 unit. (Aep Hendy S)***