Dari Desa untuk Indonesia

SOSIAL13 views

Sarjana Memotret Desa Kini dan Esok

CIPEDES, (KAPOL).- Para sarjana saatnya mengambil peran untuk menentukan eksistensinya di desa. Sarjana desa mesti bangkit menjadi lokomotif yang menarik gerbong sumber daya alam dan manusia. Tampil ke depan menjadi intelektual organik, bukan intelektual tradisional. Kecendekiaan yangm elepaskan diri dari hegemoni kekuasaan, lantas melibatkan dirinya langsung dengan masyarakat tertinggal.

Demikian, saripati diskusi terfokus para sarjana desa se-Priangan Timur yang digelar di Redaksi HU. Kabar Priangan (Grup Pikiran Rakyat), Kamis (16/3/2017), bertajuk “Dari Desa untuk Indonesia: Sarjana Memotret Desa Kini dan Esok”.

Mereka memandang desa sebagai ruang eksistensi yang masih segar dan murni. Menyimpan potensi yang sangat besar untuk kemajuan daerah dan bangsa. Potensi itu akan menjadi kekuartan bila diwujudkan menjadi kenyataan dengan berbagai cara.

Di antaranya, desa itu mesti bisa mengelola lingkungan atau sumber air dengan baik, mengembalikan marwah pertanian, pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan spirit membangun desa, gotong royong, memelihara budaya, menyikapi globalisasi dengan cerdas, membangun percaya diri, dan mandiri pangan.

Diakui potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga posisi desa belum menjadi daya tarik para sarjana untuk berkarya membangun desa. Sehingga desa bisa menjadi pusat pertumbuhan di daerah.
Membangun spirit kebersamaan atau gotong royong dan memberdayakan  sumber daya manusia menjadi kunci utama dari kemajuan desa . Sejauh ini potensi itu masih belum diberdayaan. Pembangunan masih diarahkan pada proyek infrastruktur.

Diskusi tersebut menghadirkan para sarjana yang berkiprah membangun desa masing-masing dari berbagai wilayan di Priangan Timur yang antara lain dari Pangandaran, Garut, Ciamis, Banjar, Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.
Dipandu oleh Pemimpin Redaksi HU Kabar Priangan, Duddy RS, masing-masing sarjana menyampaikan pandangan tentang desa.

Pegiat Komunitas Sabalad Pangandaran, Ai Nurhidayat memandang globalisasi yang terjadi saat ini tidak bisa dihindari tetapi harus dilawan dengan tindakan jenius. Salah satunya dengan menumbuhkan semangat masyarakat desa, terutama di kalangan para pemuda.  Terutama spirit keagamaan dan kebudayaan.
Sayang, langkah itu cenderung ditinggalkan, sehingga akibat globalisasi banyak potensi desa yang tercerabut. Kemudian hilang. Di Pangandaran dalam jangka 10 tahun terkahir ini ada banyak varietas padi yang hilang. 100 makanan rakyat hilang. Budaya dan bahasa juga banyak yang hilang.

“Spirit keagamaan tidak dibangun dengan baik. Jalan berfikir masyarakat tidak dibangun sehingga banyak budaya yang hilang. Pembangunan sumber daya manusia tidak di bangun padahal ini penting,” katanya.

Penggerak Literasi Budaya Tani Kalang Rancage Kabupaten Tasikmalaya, Otong Rukman memandang, marwah desa sebagai sumber pangan harus dikembalikan. Namun itu tidak terjadi saat ini. Masyarakat desa yang notabene petani dalam posisi bingun. Bertani hasilnya tidak seberapa, mau ke luar kerja apa.
Padahal sektor agribisnis bisa menjadi sesuatu yang seksi bila di berdayakan secara optimal. Karena faktanya semua orang di dunia ini butuh pangan. Tapi itu tidak dilakukan di negara agraris ini.

Faktanya, dalam setahun petani hilang sebanyak 500 ribu orang. Dan sepuluh tahun hilang sebanyak 5 juta orang. Begitu juga lahan pertanian hilang sampai 10 persen dalam setahun. Di Kabupaten Tasikmalaya hilang hingga 12 persen dan beralih fungsi.

“Sumber daya manusia para petani harus dibangun dan terus diarahkan agar sektor pertanian bisa menguntungkan. Ini yang harus dilakukan saat ini. Bagaimana petani yang memiliki lahan 200 bata bisa menghasilkan upah UMR tiap bulan,” jelasnya.

Hal yang sama dikatakan Adi, sarjana pegiat pertanian di Kota Banjar. Jelasnya, membangun desa tidak akan lepas dari sektor pertanian. Selama sektor pertanian bekum digarap secara optimal jangan harap desa bisa maju.
Kata dia, tanah di desa mestinya menjadi lahan pertanian dan tidak boleh dialihfungsikan. Untuk itu, pemerintah tidak memungut pajak untuk tanah yang dijadikan lahan pertanian. Tapi sebaliknya pemerintah memungut  pajak tinggi untuk yang tanah yang dialihfungsikan.

“Tanah harus difungsikan semestinya, termasuk juga benih harus hasil budidaya sendiri, sehingga desa menjadi sumber kekuatan. Reformasi agrari mestinya dimaknai pengaturan tanah yang semestinya. Tanah ya untuk pertanian,” jelasnya

Sementara itu, Aktivis Perempuan Kota Tasikmalaya, Rina memandang masih terjadi disparitas yang sangat tinggi antara pemilik modal dengan buru di Kota Tasikmalaya sehingga kesejahteraan masyarakat di desa tidak juga meningkat. Itu bisa dilihat dari tidak adanya standar upah yang jelas. Sehingga hasil yang diperoleh buruh tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak.

“Dari sisi bantuan yang diberikan pemerintah juga lebih cenderung kepada pengusaha dan belum mengarah kepada buruh dengan membuat regulasi yang jelas dalam sistem pengupahan,” jelasnya.

Percaya diri
Ungkapan berbeda di lontarkan oleh Eet Riswana Pegiat Ekonomi Kerakyatan Tasikmalaya. Kata dia justru yang harus dibangun saat ini percaya diri yang kuat di kalangan masyarakat dengan mau melakukan sesuatu yang berbeda.

“Jadilah diri sendiri, dan mau tidak mau harus berkarya, bila perlu hijrah dari yang awlanya biasa-biasa menjadi luar biasa,” jelasnya.

Daud Rifai, memandang, para generasi muda khususnya Sarjana di desa harus mau berperan secara aktif membangun desa dengan menghilangkan rasa gengsi.

“Kenapa sarjana tidak mau bekerja di desa karena tidak ada keberanian. Sarja terkendala mental. Mentalnya lemas dan lebih kalah oleh gengsi sehingga memilih jadi pekerja di Kota,” jelasnya.

Mestinya para sarjana bisa menjadi leader dalam membangun desa. Ide dan gagasan yang selama ini diperoleh dibangku kuliah bisa diimplementasikan dengan baik di desa. Untuk kemajuan daerah dan bangsa. Namun saat ini para sarjana lebih banyak berfikir menjadi pekerja tidak menjadi wirausaha dan bisa membuka lapangan kerja untuk ribuan masyarakat.

Aktivis Komunitas Ngejah Garut, Roni Nuroni memandang budaya gotong royong sudah tercerabut di desa. Untuk membangun sebuah gedung organisasi saja saat ini harus dibayar. Padahal budaya gotong royong bisa menjadi ruh untuk kemajuan desa dan daerah.

Begitu juga dikatakan oleh Aditya yang juga aktivis Garut menjelaskan mata pencaharian masyarakat di desa sudah tidak jelas. Banyak yang mengaku petani, tetapi saat cengek mahal para petani jiga ikut menjerit. Mestinya kalau sebagai petani bangga ketika harga mahal bukan malah ikut resah. (Abdul Latif)***